Setara...


Seringkali jika kita berbicara mengenai kesetaraan gender, maka beberapa orang mungkin akan langsung protes, dengan alasan perempuan dan pria ditakdirkan berbeda. Ya, secara fisik, perempuan dan pria memang berbeda, dan tidak akan pernah sama.
Gender adalah pembedaan peran dan tanggung jawab laki-laki dan perempuan yang merupakan hasil konstruksi sosial budaya yang sifatnya tidak tetap dan dapat dipelajari, serta dapat dipertukarkan menurut waktu, tempat, dan budaya tertentu dari satu jenis kelamin ke jenis kelamin lainnya. begitulah kira-kira pengertian gender yang mungkin masih asing bagi kita. Nah, jika kita berbicara mengenai kesetaraan gender, maka setara yang perempuan perjuangkan di sini adalah setara dalam konstruksi sosial, bukan kesetaraan dalam hal fisik, bukan. Jadi ketika kamu, berbicara kesetaraan gender dan teman priamu berkata  “kalau setara, kencing berdiri moko” atau “kalau setara, angkat mi pale itu galon”. Okay, itulah contoh ignorant statement yang pernah saya dan mungkin kamu pernah dengar. Bagaimanapun, jika berbicara fisik, ya kita berbeda, tidak mungkin sama.  
Kesetaraan yang dalam konstruksi sosial itu, seperti kesempatan untuk bekerja, jadi pemimpin ataupun duduk di parlemen. Kesempatan tersebut, dahulu kala dianggap tabu. Perempuan memang bisa di DPR, bukan Dewan Perwakilan Rakyat, tapi DaPur. Perempuan identik dengan dapur, itulah peran dan tanggungjawab yang dianggap ideal untuk perempuan. Maka tak heran, kita sering mendengar, “ngapain perempuan  sekolah tinggi-tinggi, toh mereka bakalan kembali ke dapur”. Konstruksi seperti itulah yang menutup kesempatan perempuan untuk menuntut pendidikan tinggi dan menutup kesempatan bekerja di bidang yang mereka inginkan, dahulu.
Mengenai jatah 30 persen yang mengatur untuk perempuan duduk di parlemen. Langkah tersebut cukup bagus, dan tentu kita berharap, tidak hanya sampai 30 persen, tapi kelak akan setara yakni 50 persen. Mungkin ada yang mencibir, kalau memang bisa setara, kenapa harus nebeng di undang-undang? Itulah gunanya hukum sebagai tool of social engineering (rekayasa sosial). Aturan seperti itu perlu, hingga suatu saat perempuan dan laki-laki setara dalam hal kesempatan duduk di pemerintahan. Jujur  saja, saya juga pernah berpikir bahwa perempuan tidak pantas memimpin karena ini dan itu. Subjektif. Pikiran-pikiran bodoh seperti itu yang harus dihapuskan. Streotypes negatif yang dilekatkan kepada perempuan harus dihapuskan. Dimulai dari diri sendiri, sebagai perempuan, mari berhenti mengaminkan streotypes negatif yang selama ini ditempel di dahi kita. Mari pula berhenti mendorong lelaki untuk berpikir kalau kita tidak akan pernah setara.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tommy J. Pisa; Masih Seperti yang Dulu

Teori Kewenangan

Dialog (di balik) Hujan