Dialog (di balik) Hujan
![]() |
Ilustrasi, Sumber: http://media.en.hawzahnews.com/Original/1395/08/18/IMG11273548.jpg |
Pukul 14.15, awan hitam berarak, perlahan butir-butir air langit tumpah ke bumi. Kaki-kaki manusia berlari mencari atap-atap untuk berteduh. Di bawah halte biru, gadis dengan rok hitam dan kemeja putih sedang berdiri. Tangan mungilnya menegadah, menanti tiap rintik hujan membasahi garis-garis tangannya. Ia begitu senang, hujan kali ini mewakili senangnya. Seakan Tuhan turut merayakan kebagahiaannya dengan menurunkan hujan. “Terima kasih untuk segala keberuntungan yang Engkau tetapkan.” Dari binar matanya, perasaaanya tergambar begitu jelas.
Baginya, saat-saat yang paling indah ialah ketika hujan turun. Saat itulah setiap doa kian dekat dengan Tuhan. Saat hujan pulalah, tangis tak akan terdengar. Di saat itu pula, rindu kian kelabu, kenangan takbisa tenang, dan hati takingin mati. Jika senja diartikan dalam bait-bait suka maupun duka, dan fajar diartikan sebagai pengharapan untuk hari esok, maka hujan tak tergambar dalam satu kata. Bahagia, sedih, rindu, gundah, semuanya bisa terwakili di balik hujan. “Terima kasih untuk segalanya.” Bibirnya tak hanya sekali berucap, ia kepalang bahagia. Ini adalah hujan pertama di bulan desember. Selain bahagia, tiada rasa yang paling tepat untuk menyambutnya.
Di sudut lain, seorang lelaki berteduh. Ia berdiri dan mematung menunggu hujan usai. Ditenggaknya seteguk air. “Ini karunia Tuhan,” katanya. Hujan kian deras, tak ada pertanda untuk reda. Matanya menatap lurus seakan-akan hendak menembus hujan. Kepalanya menelusuri jejak-jejak yang berlalu. Dihelanya nafas dalam-dalam. Ini hujan pertama di bulan Desember. Ia tak boleh menyalahkan dirinya karena tak membawa jas hujan ataupun payung. Seperti takdir, ia tak bisa menebak berapa lama hujan akan turun.
“Banyak yang ingin kusampaikan,” gumamnya. Telepon genggam yang digenggamnya bak terpendam. Waktu menunjukkan pukul tiga lewat; hujan tak kunjung reda. Matanya tenang, tak tampak raut cemas. Hujan menyembunyikan lamunannya. Kini, harapannya hanya kepada hujan. Barangkali hujan bisa menyampaikan perihal kata yang tak sempat ia lisankan. Ia paham betul, hanya pertemuan yang bisa melegakan. Matanya terpaku, jari dan kakinya tak kenal diam. Tangannya menengadah, mencoba menakar seberapa deras hujan yang turun: masih deras. Matanya menatap jauh ke depan. “Tetaplah menyukai hujan agar tak kulihat wajah murungmu.” Ia mulai mengerti mengapa hujan begitu menenangkan.
Pukul 17.11 WITA; hujan berhenti. Gadis itu beranjak dari tempat duduknya. Ia berdiri menatap jauh ke depan. “Aku berharap hujan lebih lama merayakan kesenanganku hari ini.” Ia melihat langit yang tak lagi mengirimkan hujan. Baginya, hujan adalah sahabat terbaik. Hujan merayakan kelulusannya hari ini dengan begitu meriah. Hujan juga menemaninya dalam penantian. Hujan pulalah yang memberikannya alasan untuk tak lebih lama di halte.
Lelaki dengan kemeja biru tersebut, meninggalkan Mushallah tempatnya berdiri menunggu hujan reda. Langkahnya pelan seolah-olah hanya hujan yang bisa membuatnya berjalan terburu-buru. Ia berjalan menuju halte yang tak jauh dari kampusnya. Ia berdiri, tak mencoba menghentikan angkutan umum yang silih berganti di hadapannya. Dihirupnya aroma khas tanah selepas hujan. Tanpa kata, hanya dengan rasa, ia memaknai setiap tetes air dedaunan yang jatuh mencumbu kulit sawo matangnya. “Selamat untukmu yang hari ini sarjana,” ucapnya dengan lirih.
Amanda pulang dengan dahi mengernyit, ia seakan tak percaya dengan lamunannya di halte.
Komentar
Posting Komentar