Kembali...

Setahun telah berlalu, Amanda berusaha menghapus Fattah. Fattah yang membuatnya patah, kini hanya dianggapnya seperti patahan kisah. Kisah yang harus ia patahkan dan benamkan. Fattah, namanya kini berdampingan dengan masa lalu. Mengahapus Fattah berarti membalikan keadaan ke titik awal.
“Kembali...
Ketitik awal, canggung dan tak peduli
Hanya diam sebagai penghubung
Bukan kontrol F
Kontrol A, Manda
Hapus” (Amanda Blog)
***
Hujan tak melulu tentang kesedihan, hujan bisa jadi perayaan pelepasan kepada ia yang pernah ada, kepada Fattah yang telah enyah. Hujan dan kopi, dan Amanda yang mencoba menghapus sedih. Di sudut kafe, ia menyeruput kopi dengan mata yang meraba-raba masa depan. Akan seperti apa ia tanpa harapan semu lagi.
Di tengah perayaannya, seseorang datang dan meminta tolong kepadanya untuk meminjam chargernya.
“mba bisa pinjam chargernya,” tanya pria itu dengan sedikit canggung.
“oh iya,”
Amanda melanjutkan perenungannya. Kepada kopi dan hujan, ia melepas suasana hatinya. Setelah menyeruput habis kopinya, Amanda beranjak dari kursinya, ia meninggalkan kafe tersebut.
***
Amanda duduk di dekat pintu masuk kafe. Seseorang telah duduk di tempat favoritnya di pojok kafe. Tak masalah bagi Amanda, yang penting adalah dia bisa sendiri mengerjakan tugas sembari memenuhi otaknya dengan hal lain, selain Fattah.
Seseorang datang ke meja Amanda, dan mengembalikan charger yang ia pinjam kemarin.
“terima kasih ya, kemarin mau balikin, tapi kamu sudah pulang,”
“gapapa,”
Amanda dan pria tersebut duduk saling berhadapan tanpa sepatah kata, hening. Tak ada alasan untuk Amanda memulai obrolan. Hari kedua mereka bertemu di kafe yang sama. Amanda masih mencoba memilih takdirnya.
Pertemuan mereka berlanjut, hari ke-3, ke-4, ke-5, ke-6, dan ke-7 masih tak ada kata yang terucap. Barangkali mereka diam-diam sedang memesan takdirnya. Pertemuan tanpa perjanjian antara dua orang. Di meja yang sama, duduk terdiam. Harus ada yang memulai atau mengakhiri. Amanda memilih untuk mendengarkan musik dengan headsetnya.
Di hari ke-8, Amanda tak lagi datang ke kafe itu lagi. Hujan menghalanginya untuk datang. Hari ke-9, ia merelakan pojok kafe untuk orang lain. Hari ke-9, tak ada alasan untuk datang. Hari ke-10, ia memaksa dirinya untuk berlama-lama di kampus.
Hari ke-11, Amanda datang dengan wajah sumringah, ia begitu merindukan suasana kafe. Beruntung baginya pojok kafe, tempat favoritnya belum diisi seseorang. Di pesannya kopi, headset terpasang di kedua telinganya, dan laptop berada di depannya. Ia siap bertarung dengan masa depan, skripsinya sudah terlalu lama tak dijamah.
Seseorang datang bersama kopi yang ia pesan. “Terima kasih,” ucapnya.
Pria yang tak dikenalnya duduk di hadapannya. Amanda tetap sibuk dengan skripsinya dan “sok asik” dengan lagu yang ia dengarkan.
“Kembali ke titik awal tak berarti kehilangan sisi manusiawi. Ini sudah kali kesekian kita bertemu di tempat yang sama, tapi tak ada sepatah kata pun yang kauucap,”
“Setiap hari aku datang duduk dipojok kafe ini, hanya untuk mengetahui takdir apa yang sedang kaupesan. Kau memilih diam. Tak marah, tak menangis, tak menjelaskan, tak pula ingin mendengar. Apa yang kautuju Amanda?” lanjutnya.
Berusaha mendekati, diacuhkan dalam jarak yang begitu dekat. Pria tersebut tak tahu harus bagaimana lagi. Ia berusaha menarik perhatian Amanda.
“Ayo kita mulai dari titik awal lagi,” ucapnya.
Amanda tak bergeming, lagu Tulus  masih mengalun di telinganya. Dua jam ia duduk tanpa membalas kata pria yang ada di hadapannya. Amanda telah memilih takdirnya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tommy J. Pisa; Masih Seperti yang Dulu

Teori Kewenangan

Dialog (di balik) Hujan