Cerpen

Sore itu di kala senja, di kala langit mulai memudarkan cahayanya, kami duduk di tepi danau. Di tepi paling sunyi, kami meraba-raba takdir. Aku dan Anang duduk terdiam, bukan melamun, tapi gamang. Bukan kunang-kunang di kepalaku, bukan pula kenang-kenangan. Seperti cerpen, tak seru jika menebaknya sedari awal. Kutulis seganjil mungkin, agar Anang bisa menggenapinya, dan pembaca bisa melihatnya secara utuh.
 
“Aku bingung harus seperti apa selanjutnya, Ini terlalu sulit, Nang,” kataku dengan nada lirih. Tak ada harapan selain pengertian. Anang bergeming, ia hanya memusatkan pandangan ke danau. Dengan hempasan nafas yang panjang, ia mencoba mengutarakan isi kepalanya. “Seperti halnya keberuntungan, kau tak boleh memaksakan kemampuanmu,”  katanya seperti seorang Ayah yang sedang memberi petuah kepada putrinya. Nada suaranya menenangkan, tapi perkataannya mencengangkan. “Melihatlah ke dunia yang lebih luas, jangan terpaku. Jika bukan denganku, kaubisa dengan yang lain.” Kata bisa melukai, Anang paham akan hal itu.
 
Betapa pun hati terluka, tapi selalu ada alasan untuk berada di sampingnya. Aku hanya ingin menyelesaikan kisah yang tak usai ini, sesederhana itu. Perbedaan tak mesti berakhir dengan kesedihan. Berakhir bahagia bukanlah hal tabu. Yang kurangkai bukan untuk kau bingkai. Perihal takbiasa, aku tak bisa menguranginya. “Mestinya kamu lebih paham bahwa lahir dalam kisah yang tak kau kehendaki ialah sesulit-sesulitnya hidup.” Menyampaikannya itu saja mauku. “Lalu, apa yang kaucapai, jika itu tak usai?” katanya.
 
Barangkali Anang lupa bahwa merangkai kisah tak harus patuh dengan kisah-kisah sebelumnya. Ia yang gemar melahap buku dan menghabiskan tinta barangkali mencoba memaknai kebijaksanaan. Yang tak kupaham mengapa aku harus bertahan dengannya yang berbeda denganku. “Kaulupa merenung, sehingga mengerdilkan semuanya. Saban hari kautulis tentang setara, tentang ego kaummu, dan sekarang kau ingin menulis tentang egomu,” katanya dengan nada yang datar, takmarah, tak pula mereda. “Jika ingin menutup kisah beda agama dengan bahagia, tak masalah, tapi bukan denganku.”
 
Aku terlanjur memulainya, dan tak mungkin kusudahi hanya karena ia enggan menuntunku. “Menulislah! itu katamu.” Ia adalah penyemangat ulung, dulu. Bahkan dalam hal menulis pun, kami kini berbeda. “Cerpen itu fiksi, ini tentang imajinasi,” katanya. Telingaku tidak ditakdirkan untuk menjadi pendengar baiknya. Dituntunnya tak berarti sepenuhnya patuh. Mengultuskan seseorang berarti mengabaikan kebinekaan hidup. “Ya, cerpen itu fiksi, makanya tak kutulis namamu di dalamnya.”
 
Bersamaan dengan senja yang perlahan tenggelam, dalam diam, kami pulang dengan langkah tenang.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tommy J. Pisa; Masih Seperti yang Dulu

Teori Kewenangan

Dialog (di balik) Hujan