RELASI MANUSIA DAN LINGKUNGAN
A. Manusia dan Lingkungan
Lingkungan
hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk
hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri,
kelangsungan perikehidupan, dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain.
Ketentuan Umum dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH) tersebut merumuskan
bahwa lingkungan hidup terdiri dari dua komponen yakni sosiosistem (komponen
manusia dan perilakunya) dan komponen ekosistem (alam yang mencakup benda mati
dan benda hidup dan berbagai unsur di dalamnya). Oleh karena itu, membahas
lingkungan hidup tidak hanya terbatas pada persoalan ekosistem semata, tetapi
juga pada sosiosistem. Padahal adanya masalah lingkungan hidup karena adanya
kepentingan hidup dan kehidupan manusia di dalamnya.[1]
Manusia
dan lingkungan hidup merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan. Komponen
manusia memiliki keistimewaan tersendiri, karena selain bagian dari lingkungan
hidup, manusia juga sebagai pengelola dari lingkungan hidup Baik manusia
ataupun lingkungan, keduanya saling mempengaruhi. Ada hubungan timbal balik di
antara lingkungan dan perilaku manusia. Eksistensi manusia ada pada lingkungan
hidupnya. Untuk dapat mempertahankan eksistensi tersebut, manusia berinteraksi
dengan lingkungan hidupnya dengan memanfaatkan berbagai sumber daya yang
disediakan oleh lingkungan hidup.[2]
Manusia
sebagai bagian dari lingkungan hidup sekaligus pengelola dari lingkungan hidup
memegang peranan yang penting dalam perkembangan lingkungan. Lingkungan yang menjadi
sumber penghidupan bagi manusia, perkembangannya dipengaruhi oleh manusia.
Keberadaan lingkungan bergantung pada kebajikan manusia sebagai makhluk yang
memanfatkannya. Segala persoalan lingkungan hidup yang mungkin timbul di masa
mendatang berkaitan erat dengan perilaku manusia dalam memanfaatkan lingkungan
saat ini. Sebagai sumber kehidupan, manusialah yang lebih membutuhkan
lingkungan, dibanding lingkungan kepada manusia.
Di
tangan manusia, lingkungan dapat menjadi sumber kehidupan sekaligus menjadi
malapetaka jika tak dikelola dengan bijaksana. Banyak contoh kasus yang
menunjukkan betapa manusia dapat menjadi sebab kerusakan lingkungan yang pada
akhirnya merugikan manusia. Persoalan lingkungan yang timbul karena adanya
kepentingan manusia terhadap lingkungan hidup.
Manusia
sebagai komponen lingkungan hidup memiliki posisi yang dominan sehingga dapat
menjadi perusak ataupun menjadi pengelola lingkungan yang baik. Dengan
pengeloaan lingkungan yang tidak berwawasan lingkungan, maka manusia akan
menjadi perusak lingkungan, sebaliknya jika lingkungan dikelola dengan prinsip
keberlanjutan dan berwawasan lingkungan maka manusia akan menjadi pengelola
linngkungan yang baik.[3]
Hubungan
manusia dan lingkungan wajib diatur dalam ketentuan hukum agar perilaku manusia
tidak berakibat pada timbulnya masalah lingkungan hidup. Hal tersebut untuk
mengatur langkah antisipasi sebelum perilaku manusia berdampak pada lingkungan.
Selain itu, peraturan dibutuhkan untuk penanganan setelah terjadinya dampak
dari masalah lingkungan.
Dari uraian di atas dapat dilihat bahwa manusia dan lingkungan hidup memiliki relasi yang tak terpisahkan. Relasi manusia dengan lingkungan dapat dijelaskan dengan teori etika lingkungan.
B.
Relasi Manusia dan Lingkungan ditinjau dari Teori Etika Lingkungan
Masalah
lingkungan yang terjadi selama ini, tidak dapat dilepaskan dari perilaku
manusia sebagai komponen utama. Dibutuhkan pengembangan etika lingkungan dalam
mengubah paradigma dan perilaku manusia terhadap lingkungan. Setidaknya, ada
tiga teori etika lingkungan yang dapat menjelaskan relasi keduanya, yakni
antroposentrisme, biosentrisme, dan ekosentrisme. Ketiga teori ini memiliki
pandangan berbeda terkait manusia dan lingkungan, serta relasi di antara
keduanya.
Antroposentrisme
dianggap sebagai kesadaran lama yang berpandangan bahwa manusia yang dikaruniai
kelebihan sehingga menempatkan manusia sebagai komponen sentral dan penting
dalam kehidupan. Paham ini mendasari konsep hukum hak milik mutlak yang tidak
dapat diganggu gugat dan lahirnya hukum lingkungan klasik yang berorientasi
pada penggunaan sumber daya alam.
Dalam antroposentrisme, hanya
manusia yang berhak mendapat pertimbangan moral, sementara makhluk lainnya
diapandang sebagai sarana dalam mencapai tujuan. Lingkungan dianggap sebagai
penunjang kepentingan manusia. Tidak mengherankan jika dengan etika seperti ini
menyebabkan manusia bersikap antroposentrik yang berakibat pada pemanfaatan
lingkungan secara berlebihan. [4]
Sikap
antroposentrik mengakibatkan munculnya masalah lingkungan. Salah satu contohnya adalah deforestasi yang
disebabkan alih fungsi lahan hutan menjadi perkebunan kelapa sawit Deforestasi
dapat berakibat pada kepunahan, perubahan iklim dan masalah lingkungan lainnya.
Tak hanya itu, dalam pengalihfungsiaan lahan hutan menjadi perkebunan kelapa
sawit sering dilakukan dengan pembakaran lahan yang menyebabkan kabut asap
tebal yang merugikan ekosistem. Alih fungsi lahan juga terjadi pada lahan
pertanian yang diajdikan pemukiman. Jika alif fungsi tersebut berlangsung terus
menerus maka dikhawatirkan akan timbul ancaman krisis pangan.. Saat ini, dunia
dihadapkan pada masalah lingkungan hidup yakni pemanasan global yang
diakibatkan kegiatan manusia yang tidak ramah lingkungan. Salah satu dampak
dari pemansana global volume air laut semakin meningkat.
Eksploitasi
lingkungan secara berlebihan akan berakibat fatal. Hal tersebut tentu akan
menimbulkan masalah lingkungan dan dampak yang ditimbulkan akan mengancam hidup
manusia. Jika manusia masih mempertahankan paham antroposentrisme dalam
mengelola lingkungan, maka manusia akan berhadapan dengan ancaman dari kerusakan
lingkungan.
Sementara
itu, dalam biosentrisme, setiap
kehidupan dan makhluk hidup diapandang memiliki nilai dan berharga pada dirinya
sendiri. Pada pokoknya, paham ini memandang bahwa alam memiliki nilai pada
dirinya sendiri, lepas dari kepentingan manusia, dan keberadaan alam dianggap
memiliki moral, terlepas bermanfaat atau tidaknya untuk manusia.[5]
Selain
teori yang telah disebutkan di atas, terdapat juga ekosentrisme yang dianggap sebagai kesadaran baru
yang berpandangan bahwa setiap komponen ekosistem sama pentingnya. Setiap unsur
dalam sistem kehidupan semua berguna dan penting menurut eksistensi dan
fungsinya masing-masing.[6] Kesadaran ekosistem ini
dianggap memiliki pandangan lebih luas dibanding biosentrisme.
Kesadaran
ekosistem (ecosystemic consciousness)
atau kesadaran lingkungan hidup (environmental
awareness) tumbuh dan berkembang setelah pertengahan abad ke-20, yang
diharapkan akan memulihkan hubungan yang
selaras dan sebanding antara semua subsistem dalam keseluruhan ekosistem dan
lingkungan hidup, khususnya relasi antara manusia dan lingkungan hidupnyaEkosentrisme
menjadi dasar tumbuh dan berkembangnya hukum lingkungan modern, yakni hukum
yang berorientasi pada lingkungan, yang menerapkan prinsip dan pendekatan
holistik.[7]
Kesadaran
lingkungan hidup menempatkan ekologi sebagai pedoman untuk menanggulangi masalah
lingkungan. Kesadaran ini pada pokoknya adalah kesadaran tentang permasalahan
lingkungan hidup yang dihadapi dengan berbagai dampak, termasuk sifat dan akar
masalahnya dan cara peanggulangannya. Kesadaran inilah yang mendorong manusia
untuk mempelajari seluk-beluk tentang lingkungan hidup serta pemanfaatnya yang
bersandar pada prinsip berkelanjutan dan berwawasan lingkungan yang pada
akhirnya melahirkan upaya perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.[8]
Upaya
tersebut dituangkan dalam UUPPLH. Dalam undang-undang tersebut dijelaskan bahwa
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya sistematis dan
terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah
terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang meliputi
perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan
hukum. Guna menunjang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, maka
dikembangkanlah hukum lingkungan uyang diharapkan bisa menyelaraskan
pemanfaatan dan pemeliharaan lingkungan hidup guna menjamin pemanfaatannya yang
berkelanjutan dan berwawasan lingkungan.
Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan merupakan upaya untuk melaksanakan amanat konstitusi bahwa lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan hak asasi setiap warga negara Indonesia, seperti yang termaktub dalam Pasal 28H ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945). Hal tersebut berarti Negara wajib menjamin hak asasi setiap warga negaranya yakni hak atas lingkungan. Selain itu, Pasal 33 ayat (4) menentukan bahwa pembangunan ekonomi nasional diselenggarakan berdasarkan prinsip pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan.
Manusia dan lingkungan saling berkaitan dan saling mempengaruhi satu sama lain. Relasi keduanya dapat dijelaskan dengan menggunakan teori etika lingkungan. Untuk mencegah dampak buruk dari posisi dominan manusia terhadap lingkungan, dibutuhkan upaya pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup yang bersandar pada prinsip keberlanjutan dan berwawasan lingkungan,
Relasi manusia dan lingkungan hidup
harus dilihat dalam paradigma yang memandang setiap komponen ekosistem sama
pentingnya. Kesadaran baru tersebut diharapkan akan melahirkan upaya perlindungan
dan pengelolaan lingkungan hidup yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan.
Selain itu, harus ada upaya dari semua pemangku kepentingan untuk merumuskan
hukum lingkungan yang mampu menyentuh inti masalah dari lingkungan secara
menyeluruh sehingga masalah lingkungan yang ditimbulkan dari posisi dominan
manusia terhadap lingkungan dapat dipecahkan.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
A.M. Yunis Wahid, Pengantar Hukum Lingkungan Edisi Kedua, Kencana, Jakarta, 2018.
Jurnal
Citra Nurkamilah, Etika Lingkungan dan Implementasinya dalam Pemeliharaan Lingkungan Alam
pada Masyarakat Kampung Naga, Religious: Jurnal Studi Agama-agama dan
Lintas Budaya 2, 2 (2018): 136-148 , Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Gunung Djati
Bandung, 2018.
Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan pengelolaan Lingkungan Hidup.
[1] A.M. Yunis Wahid, Pengantar Hukum Lingkungan Edisi Kedua, Kencana, Jakarta, 2018, hal. 32.
[2] Ibid.,
hal 32-33.
[3] Ibid.,
hal. 33.
[4] William Chang, Moral Spesial, 277-286, dalam Citra Nurkamilah, Etika Lingkungan Dan Implementasinya Dalam
Pemeliharaan Lingkungan Alam Pada Masyarakat Kampung Naga, Religious:
Jurnal Studi Agama-agama dan Lintas Budaya 2, Fakultas Ushuluddin UIN Sunan
Gunung Djati Bandung, 2018. hal. 137.
[5] Ibid.,
hal 138.
[6] A.M. Yunis Wahid, Op.Cit., hal 44-46.
[7] St. Munadjat Danusaputro, Bunga Rampai Binamulia Hukum dan Lingkungan,
hal 35 dalam Ibid., hal. 45.
[8] Ibid.,
hal. 52.
Komentar
Posting Komentar