POTRET PEREMPUAN DALAM DEMOKRASI INDONESIA
Indonesia
masih menghadapi persoalan ketimpangan gender dalam struktur pemerintahan. Hal
tersebut dapat dilihat dari keterwakilan perempuan di lembaga perwakilan rakyat
ataupun perempuan sebagai yang memegang jabatan di lembaga eksekutif. Perempuan
belum menempati ruang-ruang demokrasi sebesar yang dimiliki oleh laki-laki. Proporsi
perwakilan perempuan sangat timpang dibanding dengan perwakilan laki-laki. Padahal
peran perempuan sangat dibutuhkan untuk menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan.
Kepentingan perempuan seringkali terabaikan dan luput dari perjuangan pemangku
jabatan laki-laki. Itulah sebab perempuan harus terlibat mengambil peran agar
dapat mewakili kepentingan kelompoknya.
Untuk memberikan keadilan kepada
perempuan, maka dibutuhkan tindakan khusus yakni afirmasi. Hal tersebut
dibutuhkan karena selama ini nasib perempuan tak lebih baik dari laki-laki
karena budaya patriarki yang mengakar. Perempuan masih dianggap sebagai
subordinasi dari laki-laki. Selain itu, akses perempuan terhadap pendidikan,
kesehatan, kesempatan kerja masih tak
sebesar dari laki-laki.
Di Indonesia tindakan afirmasi
tersebut telah dituangkan dalam peraturan perundang-undangan, seperti yang
diatur dalam undang-undang parpol dan undang-undang pemilu. Bahkan kebijakan
afirmasi tersebut juga ditentukan dalam rekruitmen pelaksana ataupun pengawas
pemilu dan pilkada. Kebijakan tersebut untuk memberikan ruang kepada perempuan
untuk mengambil peran.
Meskipun telah dibantu oleh kebijakan afirmasi, ketimpangan jumlah antara laki-laki dan perempuan dalam struktur pemerintahan masih terasa. Kebijakan afirmasi yang diamanatkan oleh undang-undang terkesan hanya sekedar regulasi. Regulasi tanpa penguatan faktor lain akan tetap menghasilkan ketimpangan. Tak heran jumlah perempuan yang menduduki jabatan-jabatan dalam struktur pemerintahan masih sangat kurang.
Dalam
undang-undang partai politik misalnya, diatur bahwa Pendirian dan pembentukan partai
politik menyertakan 30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan yang
mewajibkan partai politik mengusung minimal 30 persen perempuan dalam pemilihan
legislatif. Selain itu, dalam Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang
Pemilihan Umum juga diatur bahwa daftar bakal calon yang diusung oleh partai
politik memuat keterwakilan perempuan paling sedikit 30% (tiga puluh persen).
Aturan tersebut di atas kertas memang dilaksanakan oleh parpol, tetapi
seringkali hanya sebagai pemenuhan syarat. Partai politik terkesan asal comot
untuk memenuhi ketentuan tersebut. Tidak heran, calon perempuan banyak
menempati nomor urut akhir. Hasilnya, tentu bisa ditebak, persentase
keterpilihan perempuan sangat kecil. Bahkan terkadang di suatu daerah, tak
satupun perempuan yang terpilih menjadi anggota legislatif. Di Luwu Utara
contohnya, pada pemilihan umum 2019, tak ada satupun perempuan yang terpilih
menduduki kursi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Luwu Utara.
Padahal pada periode tersebut, Luwu Utara sedang dipimpin oleh perempuan.
Pada pemilu 2019, sebanyak 118 kursi atau 20,5 persen dari
total 575 kursi di DPR diisi oleh perempuan. Jumlah tersebut meningkat 22
persen dari pemilu sebelumnya, hanya mengisi ada 97 perempuan yang menduduki
kursi DPR. Inilah pertama kalinya dalam sejarah, persentase perwakilan
perempuan di DPR mencapai angka 20 persen. Sementara itu di DPD sebanyak 42
kursi diisi perempuan atau mencapai 30,14 persen atau meningkat dibandingkan
hasil pemilu sebelumnya, yaitu sebesar 26 persen.[1] Meski
terjadi peningkatan, tapi ketimpangan antara laki-laki dan perempuan masih
sangat besar. Alhasil, keterwakilan perempuan di lembaga legislatif masih
sangat jauh dari yang diharapkan.
Jika
saja partai politik melaksanakan proses kaderisasi dengan baik maka
keterwakilan perempuan di lembaga legislatif bisa ditingkatkan. Dalam proses
kaderisasi, hal yang perlu dilihat adalah latar belakang perempuan dan
alasannya bergabung dengan partai politik, serta strategi partai politik
merekrut anggota perempuan. [2]Jika itu diperhatikan, maka
partai politik tidak akan asal dalam mencalonkan perempuan sebagai anggota
legislatif.
Tak hanya di lembaga legislatif, minimnya peran perempuan
juga terlihat jelas di di lingkup eksekutif. Keterpilihan perempuan dalam
pemilihan kepala (Pilkada) daerah misalnya, sangat sedikit. Tercatat, di
Pilkada 2018, hanya ada 31 perempuan atau 9,06 persen dari 342 orang yang
terpilih sebagai kepala dan wakil kepala daerah.[3]
Sementara itu, dalam Pilkada 2020, ada sekitar 10,6
persen calon perempuan atau 157 dari 1.329 calon laki-laki.[4]
Potensi keterpilihan calon perempuan pun diprediksi rendah. Hal tersebut dapat
dilihat dari hasil hitung cepat dari beberapa lembaga survey.
Sementara itu jumlah menteri perempuan di kabinet pun juga sedikit dibanding laik-laki. Dari total 34
menteri yang dipilih Jokowi, hanya ada 5 menteri perempuan. Jumlah menteri
laki-laki hampir enam kali lipatnya dari jumlah menteri perempuan. Jumlah
tersebut menurun dibanding dengan periode sebelumnya yang menempatkan sebanyak
8 perempuan sebagai menteri.
Peran perempuan yang masih sangat jauh dibanding laki-laki
dalam pemerintahan merupakan potret perempuan dalam demokrasi Indonesia saat
ini. Kesenjangan tersebut tentu akan memengaruhi kebijakan publik yang sensitif
ramah akan perempuan.
Selain kultur patriarki yang masih mengakar termasuk dalam ranah politik, komitmen partai politik juga dianggap masih jauh dari pemberdayaan perempuan. Sehingga ketentuan keterwakilan 30 % perempuan hanya sampai pada pencalonan saja. Melihat realita tersebut, nampaknya butuh waktu yang lama untuk Indonesia memiliki perempuan sebagai presiden ataupun wakil presiden dari pemilihan langsung.
Keterwakilan perempuan dalam struktur pemerintahan masih jauh dari yang diharapkan. Di lembaga legislatif misalnya, jumlah perempuan yang duduk di DPR ataupun DPD sangat timpang dengan jumlah laki-laki. Ketimpangan tersebut juga terjadi lembaga perwakilan rakyat tingkat daerah. Tak hanya itu, di lembaga eksekutif, kesenjangan antara perwakilan perempuan dan laki-laki juga terjadi. Tak banyak perempuan yang menduduki jabatan sebagai kepala daerah ataupun wakil kepala daerah. Bahkan jumlah menteri perempuan yang ada di kabinet sangat sedikit. Padahal peran perempuan dalam struktur pemerintahan sangat dibutuhkan untuk menciptakan kebijakan publik yang sensitif dan ramah perempuan.
Diperlukan dorongan agar tercipta kesadaran publik bahwa pentingnya keterwakilan perempuan di struktur pemerintahan. Pemerintah sebagai organ yang menjalankan fungsi pemerintahan, wajib membuka akses yang sebesar-besarnya bagi perempuan melalui kebijakan publik yang berbasis gender. Selain itu, partai politik harus berkomitmen penuh dalam pemberdayaan perempuan sehingga semakin banyak perempuan yang menduduki jabatan-jabatan dalam struktur pemerintahan.
DAFTAR PUSTAKA
Jurnal
Abraham Nurcahyo, Relevansi Budaya Patriarki dengan Pertisipasi Politik dan Keterwakilan
Perempuan dalam Parlemen, Jurnal Agastya Vol. 6 No. 1 Januari 2016.
Atnike Nova Sigiro, Memperkuat Representasi Substantif Perempuan melalui Model Keterlibatan
Gerakan Perempuan dengan DPR dan DPRD di Indonesia, Jurnal Perempuan untuk
Pencerahan dan Kesetaraan, Vol. 24 No. 2, Mei 2019.
Sumber
Lain:
Antara, Jumlah Perempuan Anggota DPR/DPD Bertambah Meski Belum Sesuai Harapan,
diakses dari
https://pemilu.antaranews.com/berita/1041614/jumlah-perempuan-anggota-dpr-dpd-bertambah-meski-belum-sesuai-harapan,
2019, diakses pada 12 Desember 2020.
Perludem, Potret Perempuan Kepala Daerah Terpilih di Pilkada 2018, diakses
dari
http://perludem.org/2018/08/01/potret-perempuan-kepala-daerah-terpilih-di-pilkada-2018/,
2018, diakses pada 12 Desember 2020.
Kompas, Keterwakilan Perempuan di Pilkada 2020 Dinilai
Masih Sedikit, diakses dari https://nasional.kompas.com/read/2020/11/12/12120411/keterwakilan-perempuan-di-pilkada-2020-dinilai-masih-sedikit,
2020, diakses pada 12 Desember 2020.
[1] Antara, Jumlah Perempuan Anggota DPR/DPD Bertambah Meski Belum Sesuai Harapan
, diakses dari
https://pemilu.antaranews.com/berita/1041614/jumlah-perempuan-anggota-dpr-dpd-bertambah-meski-belum-sesuai-harapan,
2019, diakses pada 12 Desember 2020.
[2] Atnike Nova Sigiro, Memperkuat Representasi Substantif Perempuan
melalui Model Keterlibatan Gerakan Perempuan dengan DPR dan DPRD di Indonesia,
Jurnal Perempuan untuk Pencerahan dan Kesetaraan, Vol. 24 No. 2, Mei 2019,
hal. 155.
[3] Perludem, Potret Perempuan Kepala Daerah Terpilih di Pilkada 2018, diakses
dari http://perludem.org/2018/08/01/potret-perempuan-kepala-daerah-terpilih-di-pilkada-2018/,
2018, diakses pada 12 Desember 2020.
[4] Kompas, Keterwakilan
Perempuan di Pilkada 2020 Dinilai Masih Sedikit, diakses dari https://nasional.kompas.com/read/2020/11/12/12120411/keterwakilan-perempuan-di-pilkada-2020-dinilai-masih-sedikit, 2020, diakses pada 12
Desember 2020.
Komentar
Posting Komentar