DESENTRALISASI KEPOLISIAN DALAM NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA
Dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) diamanatkan bahwa pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintahan Pusat. Meskipun dalam UUD NRI 1945 diamanatkan otonomi seluas-luasnya, tetapi beberapa urusan masih dikendalikan penuh oleh pemerintah pusat. Urusan-urusan yang disebut dengan urusan pemerintahan absolut tersebut meliputi: politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional; dan agama.
Urusan
keamanan yang termasuk di dalamnya adalah lembaga kepolisian yang merupakan lembaga yang berada di bawah
kendali pemerintah pusat. Polri yang berada langsung di bawah presiden
dikhawatirkan terbawa dalam pusaran kepentingan rezim berkuasa. Kekhawatiran
tersebut bukanlah tanpa alasan, sentralisasi kepolisian dianggap rentan
terpangaruh oleh rezim berkuasa.
Sentralisasi
kepolisian dianggap memiliki kelemahan-kelemahan sehingga perlu dilakukan
perubahan menuju desentralisasi kepolisian dalam rangka pelaksanaan otonomi
seluas-luasnya. Perubahan tersebut dianggap menjadi salah satu solusi untuk
membenahi kepolisian yang dianggap cenderung berpihak kepada rezim berkuasa
ataupun pejabat tinggi Polri.
Perubahan sistem tersebut dirasa penting berhubung keamanan dalam negeri merupakan syarat utama mendukung terwujudnya masyarakat madani yang adil, makmur, dan beradab berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Perihal Desentralisasi
Pemerintahan
daerah dikembangkan menurut desentralisasi (asas otonomi) dan juga tugas
pembantuan. Menurut Jimly Asshiddiqie, asas dekonsentrasi hanya diterapkan di
daerah-daerah yang belum siap atau belum sepenuhnya melaksanakan prinsip
otonomi berdasarkan konstitusi.[1]
Desentralisasi
adalah penyerahan urusan pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah
otonom berdasarkan asas otonomi. Menurut Smith, hakikat desentralisasi adalah
pendelegasian kekuasaan ke pemerintahan yang lebih rendah.[2] Sementara itu, menurut Sri soemantri,
pelimpahan wewenang dari pusat ke daerah-daerah otonom merupakan hakikat dari
negara kesatuan.[3]Pendelegasian
wewenang ditinjau dari visi implemenatasi praktis di daerah secara sederhana
dapat dikelompokkan menjadi tiga, yakni pendelegasian kewenangan politik,
pendelegasian kewenangan urusan daerah, serta pendelegasian kewenangan
pengelolaan keuangan.[4]
Terkait
prakarsa, wewenang, serta tanggungjawab urusan yang diserahkan sepenuhnya
menjadi tanggungjawab dari daerah tersebut, baik terkait politik kebijaksanaan,
perencanaan, dan pelaksanaannya maupun pembiayaannya. Sementara itu,
pelaksananya ialah perangkat dari daerah tersebut.[5]
Pembagian Urusan Pemerintahan
Undang-Undang Pemda 2014, membagi urusan antara pemerintah pusat, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota menjadi urusan pemerintahan absolut, konkuren, dan urusan pemerintahan umum.Urusan pemerintahan absolut merupakan urusan yang sepenuhnya menjadi kewenangan pemerintahan pusat. Lebih lanjut dalam pasal 10 ayat (2) disebutkan bahwa penyelenggaran urusan tersebut bisa dilaksanakan sendiri oleh pemerintah pusat atau melimpahkan wewenang penyelenggaran kepada Instansi Vertikal yang ada di Daerah atau gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat berdasarkan asas dekonsentrasi.
Sementara
itu, terdapat pula urusan pemerintahan konkuren yang terdiri atas Urusan
Pemerintahan Wajib dan Urusan Pemerintahan Pilihan yang dibagi antara
Pemerintah Pusat, Daerah provinsi, dan Daerah kabupaten/kota. Urusan
pemerintahan konkuren yang diserahkan ke Daerah menjadi dasar pelaksanaan
Otonomi Daerah. Adapun kewenangan Daerah terdiri atas Urusan Pemerintahan Wajib
dan Urusan Pemerintahan Pilihan.
Urusan
Pemerintahan wajib berkaitan dengan Pelayanan Dasar dan Urusan Pemerintahan
yang tidak berkaitan dengan Pelayanan Dasar. Dalam Pasal 12 Undang-Undang Pemda
2014, Urusan Pemerintahan Wajib yang berkaitan dengan Pelayanan Dasar meliputi:
pendidikan, kesehatan, pekerjaan umum dan penataan ruang, perumahan rakyat dan
kawasan permukiman, ketenteraman, ketertiban umum, dan pelindungan masyarakat,
dan sosial. Adapun, Urusan Pemerintahan Wajib yang tidak berkaitan dengan
Pelayanan Dasar meliputi:
a. tenaga
kerja;
b. pemberdayaan
perempuan dan pelindungan anak;
c. pangan;
d. pertanahan;
e. lingkungan
hidup;
f. administrasi
kependudukan dan pencatatan sipil;
g. pemberdayaan
masyarakat dan Desa;
h. pengendalian
penduduk dan keluarga berencana;
i. perhubungan;
j. komunikasi
dan informatika;
k. koperasi,
usaha kecil, dan menengah;
l. penanaman
modal;
m. kepemudaan
dan olah raga
n. statistik;
o. persandian;
p. kebudayaan;
q. perpustakaan;
dan
r. kearsipan.
Sementara
itu, Urusan Pemerintahan Pilihan meliputi: kelautan dan perikanan, pariwisata,
pertanian, kehutanan, energi dan sumber daya mineral, perdagangan,
perindustrian dan transmigrasi.
Selain urusan pemerintahan absolut dan urusan pemerintahan konkuren, dalam Undang-Undang Pemda 2014 juga diatur mengenai urusan pemerintahan umum yang menjadi kewenangan Presiden sebagai kepala pemerintahan. Urusan tersebut berkenaan dengan pemeliharaan ideologi Pancasila, UUD NRI 1945, Bhinneka Tunggal Ika, menjamin hubungan yang serasi berdasarkan suku, agama, ras dan antar golongan sebagai pilar kehidupan berbangsa dan bernegara serta memfasilitasi kehidupan demokratis. Dalam pelaksanaannya di Daerah, Presiden melimpahkan kepada gubernur sebagai kepala pemerintahan provinsi dan kepada bupati/wali kota sebagai kepala pemerintahan kabupaten/kota.
Sumber Wewenang
Secara teori kewenangan diperoleh melalui tiga cara, yaitu melalui atribusi, delegasi dan mandat. Menurut Inndroharto seperti yang dikutip dari Aminuddin Ilmar,[6] pada atribusi ada wewenang yang baru dilahirkan atau diciptakan dari peraturan perundang-undangan. Pada delegasi, terjadi pelimpahan wewenang oleh badan atau jabatan pemerintahan kepada jabatan pemerintahan lainnya.[7] Sementara itu, pada mandatb tidak terjadi perubahan wewenang secara yuridis formal, melainkan hanyalah hubungan internal.[8]
Sentralisasi Kepolisian
Berdasarkan UU Pemda 2014, urusan terkait
kepolisian merupakan kewenangan dari pemerintah pusat, yakni termasuk dalam
bagian urusan keamanan seperti yang tercantum dalam Pasal 10 yang menyebutkan
bahwa urusan pemerintahan absolut meliputi: politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional;
dan agama. urusan keamanan yang dimaksud
misalnya adalah mendirikan dan membentuk kepolisian negara, menetapkan
kebijakan keamanan nasional, menindak setiap orang, kelompok atau organisasi
yang kegiatannya mengganggu keamanan negara, dan sebagainya.
Dalam
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia
(UU Kepolisian) yang dimaksud dengan kepolisian adalah segala hal-ihwal yang
berkaitan dengan fungsi dan lembaga polisi sesuai dengan peraturan
perundang-undangan. Kepolisian
menjalankan fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan
ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan
kepada masyarakat.
Disebut
sentralisasi karena terjadi pemusatan kewenangan pada pemerintah pusat, dan
tidak dibagi kepada daerah otonom.[9] Berada di bawah kendali
pemerintah pusat, maka perencanaan, sumber daya manusia, serta keuangan yang
berakaitan dengan kepolisian bersumber dari pemerintah pusat. Dalam Pasal 8 UU
Kepolisian disebutkan bahwa Kepolisian Negara Republik Indonesia berada di
bawah Presiden dan dipimpin oleh Kapolri yang dalam pelaksanaan tugasnya
bertanggung jawab kepada Presiden sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Sentralisasi
kepolisian dianggap memiliki kelemahan-kelemahan sehingga dibutuhkan perubahan.
Kelemahan tersebut di antaranya ialah
kerentanan kepolisian diintervensi oleh rezim berkuasa ataupun anggota
kepolisian di tingkat bawah yang juga rentan diintervensi oleh petinggi Polri.
Kelemahan-kelemahan tersebut dianggap dapat mengganggu kepolisian dalam
melaksanakan fungsinya.
Kewenangan
pemerintah pusat dalam urusan keamanan tersebut merupakan kewenangan atributif
yakni diberikan oleh UU Pemda 2014. Bukanlah suatu yang tidak mungkin apabila
kewenangan tersebut diberikan kepada pemerintah daerah dalam hal ini pemerintah
kabupaten/kota dengan merevisi UU Pemda 2014.
Desentralisasi Kepolisian
Pemerintah
daerah memegang peranan penting dalam membangun pemerintahan yang demokratis.
Pemerintah daerah dapat menampung keragaman masyarakat, mendorong partisipasi
masyarakat dan memberikan tambahan pilihan bagi warganya dalam hal kepentingan
dan kebutuhan penduduknya.[10]
Hubungan
pusat dan daerah tidak dapat dilepaskan
dari hakikat desentralisasi. Pemerintah pusat tidak boleh mengurangi ataupun
menegasikan kewenangan yang diberikan kepada pemerintah daerah
otonom.Sebaliknya daerah otonom tidak boleh meretakkan bingkai NKRI.[11]
Dominasi
pemerintah pusat dalam pelaksanaan urusan-urusan, menjadikan pemerintah
kabupaten/kota tidak leluasa dalam mengurus rumah tangganya. Dominasi
pemerintah pusat tersebut harus diminimalisasi agar tercipta checks and balances dalam
penyelenggaraan pemerintahan.
Dari
segi kepentingan daerah, tujuan desentralisasi adalah untuk mewujudkan
keseimbangan politik. Melalui desentralisasi, terbuka kesempatan bagi
masyarakat untuk berpartisipasi atau mengambil peran dalam berbagai aktivitas
politik, misalnya dalam proses pengambilan kebijakan. Selain itu,
desentralisasi diharapkan bisa mendorong peningkatan pemerintah daerah dalam
mememnuhi hak-hak masyarakatnya, seperti hak turut serta dalam pengambilan
keputusan dan implementasi kebijakan daerah dan hak untuk mengontrol atau
mengawasi penyelenggaraan pemerintahan.[12]
Salah
satu kewenangan yang dirasa perlu untuk diberikan kepada pemerintah daerah
ialah terkait kewenangan dalam bidang keamanan termasuk di dalamnya adalah
kepolisian. Desentralisasi kepolisian dirasa perlu untuk semakin mendekatkan
pelayanan kepada masyarakat sehingga tujuan dari otonomi daerah dapat terwujud.
Desentralisasi kekuasaan tersebut untuk melaksanakan otonomi seluas-luasnya
seperti yang diamanatkan UUD NRI 1945. Wacana desentralisasi kewenangan
tersebut tidak boleh dilihat sebagai upaya disintegrasi NKRI, melainkan sebagai
upaya untuk mencapai tujuan dari otonomi.
Dalam
desentralisasi kepolisian tersebut, bukan berarti Pemerintah Pusat kehilangan
kendali. Dalam kerangka negara kesatuan, desentralisasi tersebut tidak bisa
dilepaskan dari koordinasi ataupun supervisi dari pemerintah pusat. Dibutuhkan
sistem yang memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah kabupaten/kota,
tetapi tidak menghilangkan peran pemerintah pusat. Dalam desentralisasi kepolisian
dapat tercipta checks and balances
antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah kabuoaten/kota. Selain itu, besar
peluang masyarakat dan pemerintah daerah dalam mengawasi pelaksanaan fungsi
kepolisian. Hal tersebut tentu berdampak pada kinerja kepolisian karena
pertanggungjawabannya terhadap masyarakat dan pemerintah daerah. Dengan
demikian dapat dicapai tujuan desentralisasi dalam perspektif state society relation, yakni
desentralisasi untuk mendekatkan negara kepada masyarakat sehingga tercipta
interaksi yang dinamis dalam pengambilan keputusan dan implementasi kebijakan.[13]
Dengan
didesentralisasikannya kepolisian, maka perencanaan, sumber daya manusia, dan
pembiayaan merupakan kewenangan dari pemerintah daerah. Meskipun demikian,
pemerintah pusat berwenang mengatur secara umum terkait kepolisian yang harus
menjadi pedoman daerah kabupaten/kota. Desentralisasi kepolisian menempatkan
Pemerintah Kabupaten/Kota menjadi penanggungjawab penuh dalam penegakan hukum
dan keamanan di daerahnya. Desentralisasi tak hanya mendekatkan pelayanan,
tetapi diharapkan mampu mendekatkan aparat kepolisian dengan masyarakat karena
telah menjadi bagian dari PNS kabupaten/kota. Jika kepolisian
didesentralisasikan, maka kepala kepolisian resort suatu daerah di bawah garis
komando bupati ataupun walikota.
Desentralisasi
kepolisian dianggap sebagai salah satu solusi untuk mengubah paradigma
kepolisian saat ini. Desentralisasi tersebut diharapkan bisa mempermudah
penyelenggaraan fungsi kepolisian yang meliputi pemeliharaan keamanan dan
ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan
kepada masyarakat dilakukan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia selaku
alat negara yang dibantu oleh masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi
manusia.
Perubahan sentralisasi kepolisian ke arah desentralisasi tidaklah melanggar konstitusi, melainkan sejalan dengan UUD NRI 1945 yang mengamanatkan otonomi seluas-luasnya. Ketentuan yang diatur dalam pasal 18 ayat (5) UUD NRI 1945 menegaskan bahwa urusan absolut pemerintah pusat tak dapat dialihkan secara sepihak melainkan harus diatur secara jelas dalam undang-undang.[14]
Berdasarkan
pembahasan yang telah diuraikan, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa kepolisian
saat ini bersifat sentralistik. Hal tersebut menyebabkan kepolisian rentan
untuk menjadi alat dari rezim berkuasa. Untuk menata kepolisian agar seiring
dengan prinsip-prinsip otonomi daerah, maka diperlukan perubahan mendasar,
yaitu dengan desentralisasi kepolisian. Desentralisasi kepolisian mengalihkan
kewenangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah kabupaten kota
sehingga perencanaan, sumber daya manusia, serta pendanaan seluruhnya menjadi
kewenangan pemerintah kabupaten/kota. Perubahan tersebut perlu diakomodasi
dengan perubahan undang-undang yang mengatur terkait pemerintahan daerah.
DAFTAR PUSTAKA
Aminuddin
Ilmar, Hukum Tata Pemerintahan,
Kencana, Jakarta, 2014.
Amin
Suprihatini, Otonomi Daerah dari Masa ke
Masa, Cempaka Putih, Klaten, 2018.
Andi Pangerang Moenta ddan Syafa’at
Anugrah Pradana, Pokok-Pokok Hukum
Pemerintahan Daerah, Rajawali Pers, Depok, 2018.
C.S.T. Kansil dan
Christine S.T. Kansil, Pemerintahan
Daerah di Indonesia: Hukum Administrasi Daerah, Sinar Grafika, Jakarta,
2014.
HAW. Widjaja, Penyelenggaraan Otonomi di Indonesia: Dalam Rangka Sosialisasi UU No.
32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, PT Rajagrafindo Persada,
Jakarta, 2008.
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan
Konstitusionalisme Indonesia,Sinar Grafika, Jakarta, 2011.
Moh. Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara: Pascaamandemen Konstitusi, Rajawali
Pers, Jakarta, 2013
Ni’matul
Huda, Hukum Pemerintahan Daerah, Nusa
Media, Bandung, 2012.
Yudi Suparyanto, Otonomi Daerah dalam Kerangka NKRI,
Cempaka Putih, Klaten, 2018.
Hanif Nurcholis, Teori dan Praktik Pemerintahan dan Otonomi
Daerah, PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta, 2007.
[1] Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan
Konstitusionalisme Indonesia,Sinar Grafika, Jakarta, 2011, hal.220.
[2] Andi Pangerang Moenta ddan Syafa’at
Anugrah Pradana, Pokok-Pokok Hukum
Pemerintahan Daerah, Rajawali Pers, Depok, 2018, hal. 28.
[3] Ni’matul Huda, Hukum Pemerintahan Daerah, Nusa Media, Bandung, 2012, hal. 29.
[4] HAW. Widjaja, Penyelenggaraan Otonomi di Indonesia: Dalam Rangka Sosialisasi UU No.
32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, PT Rajagrafindo Persada,
Jakarta, 2008, hal.25.
[5] C.S.T. Kansil dan Christine S.T.
Kansil, Pemerintahan Daerah di Indonesia:
Hukum Administrasi Daerah, Sinar Grafika, Jakarta, 2014, hal 3.
[6] Aminuddin Ilmar, Hukum Tata Pemerintahan, Kencana, Jakarta, 2014, hal 85.
[7] Ibid.,
hal,. 85
[8] Ibid.,
hal 86.
[9]
Hanif Nurcholis, Teori dan Praktik Pemerintahan dan Otonomi
Daerah, PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta, 2007, hal. 9.
[10] Amin Suprihatini, Otonomi Daerah dari Masa ke Masa,
Cempaka Putih, Klaten, 2018, hal. 43
[11] Ibid.,
hal. 47
[12] Yudi Suparyanto, Otonomi Daerah dalam Kerangka NKRI, Cempaka Putih, Klaten, 2018,
hal 39.
[13] Ibid.,
hal. 40.
[14] Moh. Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara: Pascaamandemen Konstitusi, Rajawali
Pers, Jakarta, 2013, hal. 53.
Komentar
Posting Komentar