Temui Aku di Persimpangan

“Temui aku di persimpangan...” itulah pesan terakhir dari Alana. Alana gadis duapuluh dua tahun itu, jejaknya hilang. Sudah seminggu ia tanpa kabar. Media sosialnya juga tak lagi bisa dibuka. Tiada lagi potret dirinya. Ceria dan riangnya tak bisa lagi dinikmati. Alanaku yang periang, lucu, dan manis. Pernah suatu hari, ia menelponku dengan suara yang begitu sendu, ia memintaku datang menemuinya. “Kak, Temui aku.” ”Kamu di mana?” tit..... ia menutup teleponnya. Dengan hati gelisah aku mencarinya di kampus, di rumah, bahkan ke rumah Sofia, karibnya. Ia tak ada. Aku menelponnya berkali-kali tapi tak ada jawaban. “Kak, di mana?” ucapnya dengan nada datar. “Kamu di mana?” “Aku lagi di mall yang dekat rumah kamu. Aku tunggu di sini” Dengan hati kesal bercampur senang aku menghampirinya. Ia berjalan-jalan memilih-milih baju. Ia seperti bocah yang siap menyambut lebaran. “Kapan kamu berubah?” “Jangan ngambek. Suatu saat kamu akan kangen sama jahilku.” “Ayo kita nge-date seharian ini.” ajaknya dengan riang. Hari itu, Ia menjadi Alana yang kukenal. Ia yang dengan manja selalu berkata bahwa ia menyayangiku. Ia menggenggam tanganku sepanjang hari. Memujiku seperti ia sedang berpuisi. Ia berucap bahwa kelak ia akan merindukan hari itu. “Cari aku seperti kau mencariku hari ini,” katanya pada saat mengantarku ke depan rumahnya. Ia melambaikan tangannya sembari tersenyum dengan sangat manis *** “Yang berubah hanya usiamu Kebaikanmu akan selalu utuh. dan cintaku, akan selalu untukmu....” Ucapnya saat ia merayakan bertambahnya usiaku. Tahun ini, tidak ada lagi ucapan puitis darinya. Tak ada lagi Alana yang manis dan puitis. kujaga ia selama 7 tahun. kukasihi ia seperti aku mengasihi diriku. Padanya kumelihat cerminanku. Kini semua retak. Ia tak lagi ingin menggenggamku. Tak lagi ingin mendengar suaraku. Tak lagi ingin menemuiku. *** “Alana” Teriakku saat melihat gadis yang begitu mirip dengan Alana. bahasa tubuhnya sangat mirip dengan Alana. Aku meghampiri gadis tersebut, dengan keyakinan penuh bahwa dia adalah Alana. Gantungan kunci yang dua tahun lalu aku hadiahkan untuknya masih terpajang di tas cokelat miliknya. “Alana” ucapku tanpa ragu. Gadis tersebut tampak menunduk dan seakan ragu menjawab sapaku. “Alana, Ka... kamu apa kabar? sudah lama kita tak bersua.” Tuhan aku sangat ingin memeluk gadis yang ada di hadapanku ini. Aku sangat merindukannya. Bahkan untuk menggenggam tangan mungilnya aku sudah tidak bisa. Ia menundukkan pandangannya, ia bahkan tak berusaha menurunkan masker yang menutupi wajahnya. Tuhan, aku tak lagi bisa mengusap rambut panjangnya. Pipi merahnya tak bisa lagi kucubit. Tawanya tak bisa lagi kulihat. Ia menjadi pemalu di hadapanku. “Aku menunggumu, di persimpangan jalan. Temani aku, menyusuri jalan itu.  Melangkahlah setapak di hadapanku. Aku akan mengasihimu secara utuh tanpa ragu.” Kutatap matanya secara sepihak. Kususuri ingatan tentang pesan singkatnya yang tak sempat kubalas dua tahun lalu. Di persimpangan jalan, kutemui gadis yang sudah asing bagiku. Di persimpangan jalan, ia memunggungiku. Di persimpangan itu, tanganku tak bisa merangkulnya. Dua tahun lalu, ia memintaku menemuinya di persimpangan. Kini, kutemui ia dengan segala keraguan apakah bisa mengejarnya. “Maaf, seseorang telah menungguku,” ucapnya memunggungiku. Kaki mungilnya melangkah, menuju halte bus di seberang sana.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tommy J. Pisa; Masih Seperti yang Dulu

Teori Kewenangan

Dialog (di balik) Hujan