Pengalaman Mencabut Gigi Berlebih (Supernumerary Teeth): Selamat Tinggal “Si Kecil Tajam”

Izinkan saya berbagi kisah di hari sabtu terik itu. Jadi ceritanya, saya bangun pagi-pagi buta di Sabtu, 25 November. Hari itu hari penting (setidaknya) bagi saya. Jadi pada hari itu, saya membuat keputusan yang begitu besar dalam hidup saya. Saya setelah belasan tahun ditemani “si kecil tajam”, akhirnya pada November memutuskan untuk melepaskannya. Beberapa tahun lalu, pernah berniat bahkan sudah ada tindakan permulaan untuk melepaskannya, tapi urung terjadi karena sesuatu yang terlalu mudah untuk dijadikan alasan. Setelah percobaan tersebut gagal, saya tidak pernah lagi memikirkan hal tersebut, bahkan saya malah berpikir kalau itu cara Tuhan mencegah saya. Ya, terlalu mudah dijadikan alasan, tapi dengan paradigma tersebut saya sekarang masih hidup. Jadi, betahnya saya menjaga “si kecil tajam” tersebut, bukan semata-mata karena berpikir itu adalah sebuah kelebihan (padahal kelainan) hahahha. Ada alasan lain, NGERI. Beberapa tahun lalu, pada saat pengaderan, ada teman kelompok yang bercerita pasca gigi berlebihnnya dicabut. Dengan muka serius, dia bercerita bagaimana tersiksanya ia setelah giginya dicabut. Beberapa hari, dia cuma bisa minum susu dengan cara disuapin. Saya yang pada saat itu cuma “nguping”, ikut ngeri mendengarnya. Bayangkan saja, gak bisa ngunyah beberapa hari. Gak kebayang. Pokoknya banyak alasan yang terlalu mudah untuk dijadikan alasannya, makanya saya betah ditemani “si kecil tajam” selama beberapa tahun. Terbiasa, mulai nyaman, takut, maribet (malas ribet) dan masa bodoh. Banyak alasan mudah, disatukan jadi rumit. Lupakan cerita ngeri tersebut. Menjelang Pagi itu, lidah sakit, ketusuk. Saya mendeklarasikan niat untuk mencabut gigi berlebih saya. Orang-orang di rumah tidak menanggapi. Mungkin mereka menganggap itu sebagai celetukan. Keesokan harinya, tepatnya Jumat, saya ke puskesmas terdekat untuk mengambil rujukan. Setelah pemeriksaan dan pertanyaan-pertanyaan singkat, saya disuruh menunggu sembari “nguping” ibu-ibu yang lagi ngegosipin sms penipuan. Setelah menunggu beberapa menit, saya diberikan surat rujukan. Sabtu Pagi Setelah mandi dan sarapan, saya bersiap menuju rumah sakit yang terletak di ibukota kabupaten. “mauko ditemani?” “janganmi.” “sms saja kalau dirawatko,” kata Mama. “janganko mau dicabut kalo nda di-rontgen dulu,” pesannya Jadi, sebelum masuk poliklinik gigi dan mulut. Ada beberapa pos yang harus dilewati terlebih dahulu. Lama. Antri, antri dan antri. Selain membutuhkan mental yang kuat, fisik kuat juga dibutuhkan. Jangan lupa sarapan. Tibalah saya di poligigi dan mulut. Kata dokternya, gigi saya tidak perlu difoto berhubung jaraknya lumayan jauh. Namun, karena teringat pesan Mama, saya minta agar gigi saya difoto terlebih dahulu. Dokter tersebut tertawa mendengar permintaan saya. “katanya, mau dirontgen,” katanya ke rekan-rekannya. Alhasil saya pun harus antri lagi. “kenapa gigi ta de?” “berlebih,” “kenapa bisa?” “dulu dikasih obat penumbuh gigi gara-gara giginya kelamaan baru tumbuh, malah banyak yang tumbuh,” “HA HA HA HA HA HA HA,” Pegawainya ngakak guysss, saya pun ikut nyengir. Pegawainya menuntun saya untuk mendapatkan hasil foto terbaik. Setelah difoto, saya harus antri lagi menunggu hasi foto. LAMA. Setelah mengambil hasil foto, saya kembali ke poli gigi. Diperiksalah foto tersebut. Saya harus menunggu lagi dan lagi. Di hadapan saya ada anak kecil yang kasusnya sama seperti saya. Giginya berlebih. Dia ketakutan. Harusnya dia dulu yang ditangani tapi berhubung harus dibujuk dulu, maju lah saya sebagai pengganti. Dokternya ramah banget, jadinya bikin nyaman. Jadi, langit mulut saya mulai disuntik bius internal. Ada beberapa kali suntikan. Gak sakit. Serius. Setelah disuntik, gigi saya mulai dicabut. Tidak butuh terlalu lama, “si kecil tajam” pun akhirnya tercerabut dari akarnya. Giginya panjang dan tajam. Setelah dicabut, saya disuruh kumur-kumur, kemudian diberi obat penahan darah yang rasanya pahit. Setelah itu, saya diberikan resep. Antri lagi. setelah menebus obat, saya pun pulang. Pasca Setelah cabut gigi, dokter menyarankan untuk tidak makan makanan yang pedas dan panas terlebih dahulu beberapa hari ke depan. Selebihnya, tidak ada cerita dramatis. Saya masih bisa mengunyah walaupun harus pelan-pelan. Saya pun, tidak berani menggunakan sedotan untuk minum, karena lubang pada langit mulut saya lumayan besar dan dalam. Alhamdulillah, setelah beberapa bulan dicabut, langit langit mulut saya (bekas tempat tumbuh gigi) sudah hampir tertutup seratus persen.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tommy J. Pisa; Masih Seperti yang Dulu

Teori Kewenangan

Dialog (di balik) Hujan