Sipakatumpu
“Pak Kabir meninggal,” teriak Karto ke penjuru kampung.
“innalillah,” ucap seorang warga.
Kabir merupakan salah satu Warga Desa Masatu. Kematiannya tak meninggalkan tanya, melainkan prasangka. Sebulan yang lalu, ia dan salah satu warga bersumpah atas nama Tuhan bahwa di antara Kabir dan Tamin akan ada yang mati mengenaskan. Sumpah tersebut dilakukan karena sengketa tanah di antara mereka tak kunjung selesai.
Kabir bersikukuh bahwa tanah yang luasnya cukup dijadikan untuk membangun rumah tersebut adalah miliknya. Pengakuan tersebut membuat Tamin heran bukan kepalang. “Bagaimana mungkin tanah warisan to’ matua ini adalah milikmu,” katanya berapi-api.
“Sebagai kepala dusun di kampung ini, harusnya kau lebih bijak. Kelakuanmu lebih dari setan jika kau aku tanah milikku itu,” katanya kepada Kabir di Kantor Desa Masatu.
“Tanah itu milikku, warisan to’ matua,” ucap Kabir dengan santainya.
Kabir dan Tamin memiliki ikatan keluarga. Ibu Kabir dan Ayah Tamin adalah saudara se-ayah. Tanah tersebut, diwariskan ayahnya kepada Tamin. Lima tahun setelah kepergian ayah Tamin, Kabir datang mengklaim bahwa tanah tersebut diwariskan Kakeknya untuk ibunya. “Sebagian tanah tersebut adalah milik to’ matuankku,” katanya sembari mengisap rokok.
“Dasar serakah kamu Kabir!” teriak Tamin lantang sembari menunjuk wajah Kabir.
“Silahkan ambil tanah tersebut. Aku bersumpah atas nama Tuhan kamu akan mati mengenaskan,” ucapnya dengan muka memerah.
***
“Tamin tewas,” teriak seorang warga yang berlari ke penjuru kampung. Dua minggu setelah kepergian Kabir secara mengenaskan, Tamin pun juga turut serta dipanggil Tuhan dengan cara tragis pula.
“Bagaimana ini? Keduanya mati, lalu siapa yang benar di antara keduanya?” tanya salah satu warga kepada Kepala Desa yang menjadi saksi sipakatumpu antara Kabir dan Tamin.
“Barangkali kita salah memaknai kuasa Tuhan. Kita gampang putus asa, lalu bersumpah atas nama-Nya,” kata Kepala Desa tertunduk lesu. “Apa boleh buat mereka memilih jalan singkat ini,” lanjutnya. Sebelum sipakatumpu tersebut, Kepala Desa Masatu telah melakukan musyawarah, dan dari bukti dan pengakuan saksi, tanah tersebut adalah milik Tamin. Namun, Kabir menolak hasil musyawarah tersebut. Hingga akhirnya pemerintah desa menyarankan Tamin untuk menempuh jalur hukum. Namun, Tamin memilih jalannya sendiri.
“innalillah,” ucap seorang warga.
Kabir merupakan salah satu Warga Desa Masatu. Kematiannya tak meninggalkan tanya, melainkan prasangka. Sebulan yang lalu, ia dan salah satu warga bersumpah atas nama Tuhan bahwa di antara Kabir dan Tamin akan ada yang mati mengenaskan. Sumpah tersebut dilakukan karena sengketa tanah di antara mereka tak kunjung selesai.
Kabir bersikukuh bahwa tanah yang luasnya cukup dijadikan untuk membangun rumah tersebut adalah miliknya. Pengakuan tersebut membuat Tamin heran bukan kepalang. “Bagaimana mungkin tanah warisan to’ matua ini adalah milikmu,” katanya berapi-api.
“Sebagai kepala dusun di kampung ini, harusnya kau lebih bijak. Kelakuanmu lebih dari setan jika kau aku tanah milikku itu,” katanya kepada Kabir di Kantor Desa Masatu.
“Tanah itu milikku, warisan to’ matua,” ucap Kabir dengan santainya.
Kabir dan Tamin memiliki ikatan keluarga. Ibu Kabir dan Ayah Tamin adalah saudara se-ayah. Tanah tersebut, diwariskan ayahnya kepada Tamin. Lima tahun setelah kepergian ayah Tamin, Kabir datang mengklaim bahwa tanah tersebut diwariskan Kakeknya untuk ibunya. “Sebagian tanah tersebut adalah milik to’ matuankku,” katanya sembari mengisap rokok.
“Dasar serakah kamu Kabir!” teriak Tamin lantang sembari menunjuk wajah Kabir.
“Silahkan ambil tanah tersebut. Aku bersumpah atas nama Tuhan kamu akan mati mengenaskan,” ucapnya dengan muka memerah.
***
“Tamin tewas,” teriak seorang warga yang berlari ke penjuru kampung. Dua minggu setelah kepergian Kabir secara mengenaskan, Tamin pun juga turut serta dipanggil Tuhan dengan cara tragis pula.
“Bagaimana ini? Keduanya mati, lalu siapa yang benar di antara keduanya?” tanya salah satu warga kepada Kepala Desa yang menjadi saksi sipakatumpu antara Kabir dan Tamin.
“Barangkali kita salah memaknai kuasa Tuhan. Kita gampang putus asa, lalu bersumpah atas nama-Nya,” kata Kepala Desa tertunduk lesu. “Apa boleh buat mereka memilih jalan singkat ini,” lanjutnya. Sebelum sipakatumpu tersebut, Kepala Desa Masatu telah melakukan musyawarah, dan dari bukti dan pengakuan saksi, tanah tersebut adalah milik Tamin. Namun, Kabir menolak hasil musyawarah tersebut. Hingga akhirnya pemerintah desa menyarankan Tamin untuk menempuh jalur hukum. Namun, Tamin memilih jalannya sendiri.
Komentar
Posting Komentar