Let's Not Fall in Love

Jatuh cinta atau sekedar suka. Kegundahan melanda Amira. Hatinya terpaut pada sosok lelaki yang baru ia kenalnya. Pantang jatuh dalam pandangan pertama, itulah kekuatan Amira. Baginya, tidak ada cinta pada pandangan pertama. Jatuh cinta dalam waktu singkat, hanya akan berujung pada kesakitan. Setidaknya kedua hal tersebut yang dipegang Amira selama 24 tahun usianya. Baginya hubungan tak mesti terburu-buru, biar pelan asal bahagia. Jika ia jatuh cinta kepada stranger bisa saja ia akan menyesal seumur hidupnya. Menjatuhkan hati kepada orang yang bahkan hampir kau tak kenali, bisa jadi itu adalah langkah awal menuju kehancuran.
“Amira,” teriak seorang pria di
koridor kampus. Pria berambbut klimis tersebut menghampiri Amira yang sedang
berjalan sendiri. “mau kemana?” tanyanya. “hari ini sibuk gak? Nonton yuk,“ajaknya.
“iya lagi sibuk banget nih. Lain kali yak,” respons Amira. “ngapain juga dia
ngajak aku nonton. Kita tidak sedekat itu untuk nonton bareng,” gumam Amira.
Adit, pria belum lama oleh Amira. Adit
adalah salah satu mahasiswa pascasarjana, teman sekelas Amira. Bagi Amira Adit
tak lebih dari teman kuliah yang baru ia kenal. Berdiskusi bersama, dan saling
berbagi informasi terkait perkuliahan. Mereka berbeda, Adit dengan kemejanya,
Amira dengan kaosnya. Amira dengan blognya, Adit dengan instagramnya. Adit
dengan grasak-grusuknya, Amira dengan ketakutannya. Amira mencoba membangun
benteng di hatinya, jika bisa lebih tinggi dari ketakutannya. Adit dengan
penasarannya mencoba meruntuhkannya. Gadis malang, yang berkawan dengan
lukanya, siapa yang hendak menghapus lukanya.
“Ra, ada tugas gak dari pak Zahid,”
tanya adit
“gak ada,” balas Amira.
“Ra, kamu kenapa? Apa ada yang salah
dari saya? Kamu mulai aneh,”
“perasaan kamu saja,”balas Amira.
Adit mulai merasakan ada yang aneh
dari Amira, teman sekelasnya yang dulunya sangat ramah. Mulai menghindar, tak
lagi ramah membalas pesan dan tak pernah lagi menyapanya. “Tadi tumben telat,
Ra, untung dosennya gak datang,“ komentar Adit yang baru saja menghampiri Amira
yang duduk di sudut perpustakaan. “Kamu itu lebih dar tembok beton, ya Ra.
Bahkan jika aku berusaha meruntuhkannya, kamu akan membangunnya kembali,” ucap
Adit yang mulai duduk di samping Amira. Amira hanya bisa terdiam mendengar
Adit, dia berusaha sibuk dengan bukunya. “Tak perlu lari, hubungan pria dan
perempuan tak melulu untuk saling menyakiti. Lain kali jangan begitu,” tambah
Adit “Kita bahkan tak sedekat itu untuk saling menghimbau tentang perasaan.
Kita tak sedekat itu untuk saling menyakiti,” timpal Amira. “Kamu bahkan tak
harus sekaku itu, jika tak ada yang berubah. Kamu bahkan benci sendiri ke
perpus, Ra.” Balas Adit. “aku masih menunggu ‘lain kali’ yang kamu maksud hari
itu, Ra,” lanjutnya. “Aku tidak pernah lari, dan tak pernah ingkar, pastikan saja
kapan kamu ada waktu luang,” balas Amira. Ia tak bersungguh-sungguh dengan
ucapannya tersebut, yang ia inginkan Adit enyah dari hadapannya sesegera
mungkin. “Oke Ra, entar aku kabari ya,” ucap Adit sembari berpamitan.
Gadis malang. Mengunci hatinya karena
luka yang terlalu dalam. Ia begitu naif ketika berhadapan dengan asmara.
Baginya, tak ada lagi cinta yang tulus semenjak hubungannya berakhir dengan
Roby. Roby yang ia cintai dengan seluruh raganya, meniggalkannya tanpa alasan.
Mungkin ada perempuan lain, yang lebih darinya yang membuat Roby berpaling,
pikirnya. Cinta pertama yang ia harap menjadi cinta terakhir, melukainya
terlalu dalam. Gadis malang yang membenamkan diri ke dalam buku. Cita-citanya
sekarang hanya menyelesaikan kuliah dan barangkali ada kesempatan untuk
mendapatkan beasiswa di luar negeri.
Amira Blog
“Pura-pura diam, lalu pergi kemudian tersadar, jatuh dan bangun
adalah pilihan. Beberapa saat terpikir untuk tidak terjatuh. Namun, tak ada
yangg bisa mengelak ketika Tuhan sudah mengiyakan. Kuasaku hanya sebatas tak
banyak harap. Bukan karena tak bisa memilih tapi lebih karena tak sudi berlari.
Lets not fall in love.”
Line
Adit: Ra,
hari ini jadi kan nontonnya?”
Rara: Iya
jadi kok, jam berapa filmnya main?
Adit: “16.30,
Ra. Kita barengan ya habis kuliah.”
Akhirnya Amira menantang
ketakutannya, tiada guna berlari. “Lindungi hamba, Tuhan,” gumam Amira.
****
“Ra, gimana
filmnya, kamu suka kan?” tanya Adit untuk memecah suasana beku di dalam
perjalanan dari bioskop.
“lumayan suka
sih. Sedih banget pas endingnya,” jawab Amira.
“Jarang-jarang
nonton film Zombie tapi bikin sedih,” timpal Adit
“bagusnya
film korea ya gitu, mau filmnya seserem apa, tetep aja ada sisi humanisnya
Dit.”
“jeli banget
memang mereka, apa yang gak di-cover sama film barat, ada di film korea,” lanjut Adit.
Tak terasa perjalanan mereka dipenuhi
obrolan seru seputar film. Untuk selera film, mereka tak berbeda. Amira semakin
mendekati ketakutannya, yang dia hindari, kini semakin ia dekati. Pipinya
memerah, Adit pria yang berusaha meruntuhkan tembok hatinya berada tepat di
sampingnya.
“Ra, kita
singgah ke pantai ya, sudah lama gak liat senja sambil minum es kelapa. aku
sudah lama gak makan pisang epe,” tanya Adit.
“Dit, ini
kamu gak minta persetujuan aku, ini lebih seperti perintah. Gak mungkin aku
tolak kan secara mobil kamu udah mau parkir gini,” protes Amira ke Adit.
“hahahaha
maaf Ra, harusnya aku dari dulu kayak gini ya,’’ goda Adit.
Amira hanya bisa tersinyum
simpul sembari memalingkan muka ke jendela mobil.
Sore itu, Amira dan Adit bak sepasang
kekasih, duduk berdua menikmati debur ombak dan sepoi angin. Pasir yang
berbisik membawa Amira ke dalam kenangan jauh sebelum mengenal Adit. Dua tahun
yang lalu, di suasana yang sama, dengan seorang pria yang amat ia cintai
berjanji untuk selalu mencintainya. Dua tahun yang lalu, seorang pria yang juga
tak begitu ia akrabi, melukis senyum di bibirnya, menjadi senja paling indah
untuk dirindukan. Amira dengan segala kenangan manisnya, tersungkur atas nama
cinta yang kini terpendam jadi luka. Cinta yang dianggapnya sempurna menjadi
mimpi buruk yang mengakrabi ketakutannya.
“Senja itu seperti kekasih setia, tak
berucap tapi selalu menepati janjinya untuk kembali. Ia pergi tapi selalu
kembali. Aku mau jadi senjamu, dan kamu jadi peraduanku,” ucap Adit.
“Mengapa kamu yang mesti jadi senja? Aku
tak sekuat itu untuk menunggumu, dan aku tak mampu jadi langitmu,” balas Amira.
Bagi Amira tak ada lagi hubungan yang
ideal. Hubungan baginya hanyalah kalkulasi, siapa yang bahagia lebih lama dan
siapa yang lebih untung dari hubungan tersebut. Ia tak ingin berjudi dengan
relasi yang ia jalin bersama Adit. Tak lebih dari teman, itulah maunya.
“Kenapa Ra? Setidaknya ada alasan
yang jelas,” tanya Adit
“Let’s not fall in love,
Dit. Kita tidak saling mengenal dekat. Kita gak tau apa yang bakalan terjadi
setelah ini. Mari berbahagia seperti hari ini, don’t try to have me. Let’s just stay like this.”
*Sebagian dialog terinspirasi dari lirik lagu let's not fall in love-Big Bang
Komentar
Posting Komentar