Pantai Terakhir
Bagaimana seandainya ini pantai terakhir yang kita kunjungi?”
“Kenapa begitu?”
Perjalanan kali ini terasa
berbeda. Sangat menyenangkan. Kutatap
raut wajahnya di balik kaca spion.
Matanya fokus menyusuri jalan panjang menuju pantai yang tak pernah kami
kunjungi sebelumnya.
“ini kali pertama aku pergi
sejauh ini berdua dengan orang yang baru beberapa bulan kukenal,” gumamku.
Mendengarnya bercerita sepanjang
jalan, membuatku termenung. Ia selalu
antusias menceritakan apa saja. Ia hampir tak pernah mengeluh. Satu-satunya
keluhan yang pernah kudengar ketika kucingnya hilang. “mau menangis, rasanya,”
katanya sepanjang jalan kala itu. Aku pun hanya bisa tertawa mendengarnya.
Pria yang sangat serius ketika mengkritisi
pemerintah bisa juga bersedih karena kucing.
Mengenalnya, membuatku berhenti
meminta untuk dijauhkan dari orang yang
tak baik. Jika dengannya adalah keliru, aku ingin diberi waktu sedikit lebih
lama untuk menyadari kekeliruan itu. Kutau pada
akhirnya akan ada pedih dan sedih. Tapi, untuk saat ini, ia bawa bahagia
yang tak pernah ada sebelumnya.
Dengannya, segala obrolannya bisa
jadi alot, bisa juga berakhir dengan
diam. Ia datang dengan bahagia pada
tawanya, tapi di lain waktu datang dengan membawa duka dengan senyumnya. Takkan
pernah kulupa bagaimana ia begitu bahagia menceritakan perempuannya. Matanya
berbinar ketika menceritakan kali pertama bertemu pacarnya. Aku hanya bisa
tersenyum tipis mendengar segala cerita tentang perempuan yang ada di hidupnya.
***
“Bagaimana seandainya ini pantai
terakhir yang kita kunjungi?”
Kami duduk berdua di pinggir
pantai. Angin semilir, dan ombak yang sesekali memecah hening. Tatapannya jauh
menyusuri deburan ombak. Kupandangi ia dengan lekat. Takkan kulupa senyum tipisnya kala ia dengan
sarkas menanggapi sesuatu, atau tawa
lebarnya ketika melempar candaan.
Pria ini, orang yang membawa tawa
sama besar dengan tangis yang ia beri. Memberi suka sebesar duka yang ia bawa.
“terimakasih sudah membuat semuanya mungkin,” kataku padanya. Selalu kuulang
kata itu saat aku takjub dengan keindahan alam yang ia perkenalkan padaku.
“lebih dari itu, terimakasih karena tidak membuatku takut pergi bersama orang
asing sepertimu.”
Setelah menanti terik matahari
tenggelam, kami pun menuju pantai. Menikmati biru air dan ombak yang memecah
lautan. Ia begitu antusias seperti tak pernah ada masalah di hidupnya. “ini pantai terindah,” katanya. Aku pun mengangguk
mengiyakan perkataannya. Di antara semua
pantai dan destinasi wisata yang kami kunjungi inilah pantai yang paling indah.
Pasir putih, ombak tenang, dan lautan yang biru tak hentinya membuat takjub. Tak
hanya itu, masyarakat yang ramah membikin hati ingin beranjak dari pantai itu.
Gerimis tak menghentikan kami
untuk menikmati deburan ombak di sore itu. Ia tak hentinya berenang kesana
kemari menikmati laut bersama anak-anak kecil yang juga ikut berenang. Tak sulit
baginya untuk berbaur. Anak-anak kecil begitu menyukainya.
***
“Kamu tahu kenapa anak-anak kecil
menyukaimu? Kamu baik.” Kataku padanya.
Ia hanya tertawa kecil mendengar
perkataanku.
“kamu baik kepada semua orang,
kecuali sama aku.”
Ia tahu, aku akan bersedih ketika
dia menceritakan perempuan-perempuan yang sedang ia jajaki. Ia juga tahu betapa
sedihnya aku ketika ia menceritakan mantannya. Banyak hal yang ia lakukan yang
membuatku bersedih.
“bukan aku yang membuatmu
bersedih. Kamu yang melukai dirimu sendiri.” Matanya tak henti menatap lautan
lepas. “sayang sekali kali ini gerimis, jadi tak ada senja,” katanya.
“kamu tidak bisa menikmati dua
hal indah secara bersamaan,” timpalku. Aku tahu, ia datang hanya sesaat. Ia mendekat
bukan untuk melekat. Ia singgah karena butuh, bukan karena aku rumah yang ia tuju.
Kenyataan bahwa harus mundur dan tidak ingin meminta Tuhan untuk membuka hatinya adalah hal terperih. Suka tak selalu selaras dengan keinginan untuk memiliki. Aku tahu, akan lebih banyak duka nantinya. Bagi orang sepertinya, tak ada ikatan yang bisa membatasinya. Komitmen apapu itu, tak akan membuatnya merasa cukup.
“kita harus kesini lagi di lain
waktu,” katanya.
“bagaimana jika ini pantai
terakhir yang kita kunjungi?” tanyaku.
Komentar
Posting Komentar