Sore itu, di tengah rintik hujan, kuayunkan langkah kaki menujunya.
“Dimana?”
“Di tempat biasa,” katanya.
setelah sekian lama tak bersua, ia memintaku menemuinya. berkali-kali ia menelpon dan mengirimkan pesan kepadaku untuk memastikan bahwa aku akan menemuinya. aku bahkan harus meninggalkan acara penting lebih awal karena teleponnya. Entah apa yang ada di benaknya, sehingga ia memberanikan diri menelponku, setelah berbulan-bulan tak menyapaku. Dia memang seberani ini. Keberaniannya terkadang membuatku tak habis pikir. Namun, itulah yang selalu menjadi awal mula tegur sapa ketika kami sedang tidak dalam keadaan bersahabat.
Aku berlari kecil masuk ke dalam cafe itu. Ia terduduk dan diam. segelas Matcha Latte di hadapannya, minuman favoritnya. Ia akan selalu memesan itu, bahkan ia pernah memintanya padaku untuk dibelikan ketika sedang dalam perjalanan melewati rumahnya. aku tak sempat membelikannya saat itu, karena ia terlambat memberitahuku, dan itu membuatnya marah. Ia akan selalu mengungkitnya ketika marah.
“Matcha lagi?”
“Aku memesannya terlebih dahulu sebelum berpikir memintanya kepada orang lain.”
“Masih marah? masih benci?” tanyaku.
Aku menghampirinya dengan senyum yang sangat lebar. kutatap ia dengan begitu dalam. matanya sendu. Kutahu di baliknya begitu banyak rindu.
“harusnya tak ada lagi temu, bukan? bahkan meski sekedar sapa,” katanya.
“mengapa tidak? toh tidak ada yang salah dari temu ini. sama seperti temu antara kamu dan sahabatmu, begitu pun aku.”
“seberapa dekat kamu untuk kurindukan?”
“seberapa asing kamu untuk kujauhi?”
Tak mungkin memberinya kasih melebihi sebagai kasih sebagai sahabat. meski semuanya sangat membahagiakan dan tak ingin semuanya berlalu begitu cepat.
“Mengapa kita tak bertemu lebih awal?”
“Mengapa tak berani melangkah? bukan waktu yang salah, tapi serakahmu yang jadi masalah.”
Aku terdiam dan termenung. Bukan tak pernah memikirkannya. Seribu kali pun aku memikirkannya, takkan ada jalan menujunya. Tidak mungkin melepas yang sudah berjalan dengan baik untuk memulai sesuatu yang baru.
“Kau hanya perlu menjauhiku dan berkata tidak ketika aku membutuhkanmu. Kebaikanmu membuatku berada di posisi yang sulit,” katanya.
“Aku bahkan tak pernah sekalipun menawarkan bantuan atau mendekat kecuali kamu yang meminta.”
“kamu tak memberi batasan.”
Tak peduli seberapa kuat pembatas yang kuberi, sapanya akan selalu kubalas. marahnya pun tak pernah membuatku tersulut. Bahkan ketika ia mengatakan ia membenciku, aku takkan pernah membalasnya dan hanya bisa memakluminya.
“Bukankah tak menyapamu lebih dulu adalah sebuah batasan? apakah diam tak bermakna apa-apa untukmu?”
“apakah aku salah paham akan semua kebaikanmu? apakah setiap ‘iya’ darimu tak boleh disalahpahami? apakah obrolan-obrolan itu tak bermakna apa-apa?”
“kalau begitu mengapa bukan kamu yang menjauhiku?”
matanya berkaca-kaca, dan sungai-sungai kecil mengalir di pipinya. Ia adalah orang yang selalu akan kumaklumi bahkan ketika banyak alasan untuk membencinya. Ia terkadang kekanak-kanakan, egois, dan sulit untuk dipahami. Ia melekat dengan segala kekurangannya. Perasaannya membuatnya sangat rentan.
“Kamu pandai memanipulasi keadaan.”
aku terdiam mendengar tuduhan itu keluar dari bibirnya. Itu kebiasaannya. Ia akan selalu menuduhku memanipulasinya ketika ia marah. Ia satu-satunya manusia yang secara terang-terangan mengatakan hal-hal tidak terduga kepadaku.
“harusnya kamu melepasku,” pintanya.
“aku tak pernah mengikatmu, tak pernah juga memintamu bertahan. Kamu yang memilihnya.”
“kamu yang memberikan jalan. Kamu tidak mungkin tidak tahu aku akan salah memahami semua keadaan ini.”
“kamu memaknainya terlalu jauh.”
“kalau begitu, tolong jangan izinkan aku mendekat.”
“itu hakmu”
“Kamu bisa melarangku.”
“itu kuasamu.”
“kamu bisa marah.”
“semuanya di tanganmu.”
di sore yang kian jingga itu, suaranya makin pelan tapi setiap kata yang keluar dari mulutnya membuatku makin sulit memahaminya. Ia selalu begitu, dan akan selalu begitu. selalu membuatku harus memaklumi sikapnya. Ia pergi ketika ia mau, dan datang ketika marahnya usai.
“Bolehkah aku meminta dinyanyikan sebuah lagu?”
Jika malas berdebat terlalu lama, ia selalu minta untuk dinyanyikan sebuah lagu dan akan menganggapnya sebagai sebuah jawaban.
“lagu apa?”
“Selamat Jalan Kekasih”
“Aku berharap kamu akan bilang ‘iya’ untuk hal ini.”
Matanya sendu. Tak ada adu rayu. kutatap ia dalam-dalam, dan aku tenggelam bersama senja.
Komentar
Posting Komentar