Perihal Orang Asing
Tidak pernah berencana jatuh cinta kepada orang asing karena selalu
berharap mencintai orang yang telah saya kenal dengan baik agar tak sulit
menyatukan frekuensi. Alih-alih harapan itu terwujud, saya malah jatuh hati
kepada orang asing. Seseorang yang saya temui dengan tidak sengaja dan tanpa
berniat jatuh hati saat itu. Saya bertemunya di saat saat saya menunggu
narasumber di salah satu kantor di pusat kota. Dia datang untuk berbagi ilmu
kepada temannya yang saat itu tengah mempersiapkan diri untuk mengikuti UPA (ujian
profesi advokat). Dalam penantian itu, saya sempat bercerita dengannya, dan
sempat mengikuti materi UPA yang disampaikannya. Setelah selesai wawancara,
entah mengapa berat hati untuk meninggalkan kantor tersebut. Untuk beberapa
saat saya tidak mungkin melanjutkan obrolan dengannya karena bukan hanya kami yang ada di ruangan itu, bahkan masih ada
narasumber. Setelah pulang dari tempat
tersebut, saya mencoba mengingat nama orang asing tersebut. Ya, saya lupa. Satu-satunya
yang saya ingat darinya adalah NGO tempat ia mengabdi. Saya sampai harus berdoa agar bisa mengetahui
namanya.
Di suatu waktu saya mengikuti siaran langsung yang diadakan
organisasinya. Saya melihat daftar penonton siaran tersebut, dan mata saya
tertuju kepada akun dengan wajah yang mirip dengannya. Tak sekedar mirip,
dialah pemilik wajah itu. Saya meminta untuk mengikuti dan dengan antusias saya
mengirimkannya pesan. “Masih kenal saya?” pesanku saat itu. “Boleh saya
diingatkan?” katanya. Saya menyampaikan bahwa saya adalah orang yang beberapa
waktu lalu mewawancarai anggota legislatif di tempat ia berbagi ilmu dengan
temannya. Masih lekat di ingatan, malam itu kami berbalas pesan sampai larut
malam, sampai saya harus berpamitan karena kepala yang mulai pusing karena
begadang. Keesokan paginya kami masih berbalas pesan. “boleh lihat fotonya?”
tanyanya. Saat bertemu dengannya, saya tidak pernah melepaskan masker karena
sedang pandemi. Saya mengunggah foto yang hanya
ditujukan untuknya. Foto dua tahun lalu “itu foto sebelum tidur,” kataku. Jujur, saya sangat tidak percaya diri dengan wajah ini Saya
tidak cantik. Wajah saya penuh bopeng, hidung yang terkadang jadi objek
candaan, gigi yang tidak rapi, mata tak serupa pencitraan di novel romansa, dan
banyak kekurangan lainnya. Ya, orang-orang menyebut itu insecure. Dengan banyak kekurangan tersebut, saya memberanikan diri tetap memperlihatkan foto
saya. Itu bentuk sopan santun saya ketika berkenalan dengan seseorang yang
ingin saya kenal lebih dekat. Sangat senang mengenalnya. Banyak hal yang
kuceritakan kepadanya. Berbanding terbalik dengannya, yang bahkan nama lengkapnya
pun tak pernah disebutnya.
Mengapa mencarinya? Pertanyaan tersebut terkadang muncul di benakku. Alasan
paling logis adalah kesan pertamanya membekas. Dia baik. Ia mengunjungi
temannya yang ingin belajar materi UPA. “hanya sekedar berbagi” katanya. Sekali
lagi, dia orang baik. beberapa bulan saling berbalas pesan, tidak ada satu pun
perkataannya yang menyakiti.
Selama hidup, baru kali ini saya sangat ingin menjalin relasi dengan
seseorang. Saya mencarinya, mencoba untuk membangun komunikasi, mencooba mencari tahu tentangnya. Keinginan tersebut tetap menjadi keinginan, setelah beberapa bulan mengenalnya. Perkenalan
tersebut tak lagi berlanjut. Ia seperti bayangan di balik kabut. Tak peduli
seberapa keras saya menggenggam keinginan itu, dia hanya akan menjelma sebagai
pedang yang menghunusku. Bukan perkataannya yang menyakiti, melainkan harapan yang
menyakitiku.
Setelah mengungkapkan perasaan secara tidak langsung, semuanya berubah.
Perlahan ia menjauh, tak seperti dulu. Orang asing itu tetap menjadi orang
asing. Dia tak pernah benar-benar kukenali. Dia suka bertanya, tapi tak suka
menjawab tanya. Saya bahkan sampai berpikir andai saya tak mencarinya.
Saya menangisi orang asing itu. Saya terjatuh begitu dalam. Saya rindu
ketika ia bertanya perkembangan tugas akhir saya. Saya rindu ketika ia membalas
unggahan saya. Saya rindu ketika memanggil namanya dan ia bertanya mengapa. “cari
perhatian,” kataku. Dia adalah orang tersabar yang meladeni pesanku yang tidak
jelas, meskipun pada akhirnya dia menyerah dan tak lagi membalasnya. Dia pernah
memanggil namaku melalui pesan seperti saat saya mencari perhatiannya kepadanya.
Itu momen yang paling membahagiakan.
Janji untuk bertemu kedua kalinya tak akan pernah terencana lagi. “saya
berharap kita akan bertemu lagi untuk kedua kalinya—secara tidak sengaja,”
tutupku saat mengiriminya pesan panjang lebar. Saat ini, saya perlahan menerima
kenyataan dan mencoba untuk bangkit lagi, membangun tembok kokoh agar tak mudah
jatuh lagi. Mungkin ada alasan mengapa namanya sulit diingat di awal pertemuan.
Mungkin dia bukan orang yang harus kuingat lebih lama. Semuanya telah terjadi,
orang asing yang namanya pernah sulit diingat tersebut, menjelma jadi nama yang
sulit dilupa.
“aku harusnya tak mencarimu agar engkau selamanya jadi orang asing yang
kukenang dengan baik.” Alegian
(10/7/2022)
***
Itulah tulisan panjang lebar Alegian yang diunggahnya di blog. Kenangan yang berusaha dikuburnya teringat kembali. Ia tak pernah benar-benar melupakannya. Ia mengutuk dirinya. Baginya ia adalah orang terbodoh saat ini, mencintai seseorang yang tak memiliki perasaan yang sama dengannya. Ia merindukan seseorang yang ia kasihi dengan sepenuh hati, tanpa syarat. Ia tak tahu sampai kapan ia bisa melupakan nama itu.
"Nama lengkap kamu siapa?" tanya Alegian melalui pesan kepada Arya. Tanya Ale--sapaan akrabnya--kepada pria yang telah dikenalnya selama empat bulan tersebut. Nama tersebut ingin ia tuliskan di tugas akhir yang sedang dalam tahap perampungan.
Hingga saat ini, Ale tak berani membuka pesan tersebut untuk mengetahui apakah pesan tersebut terbalas ataukah hanya berakhir sebagai tanya.
Komentar
Posting Komentar