Tak Ada Fajar Hari Ini



Di serambi rumahnya, Alia duduk menanti fajar. Ia begitu menyukainya. Seberkas demi seberkas cahaya tak ingin ia lewatkan. “Di sana ada pengharapan,” kata gadis berambut panjang tersebut.
Hidupnya tak pernah lepas dari pengharapan. Seakan matahari berhenti bersinar, bila ia alpa berharap. “Tidak ada fajar hari ini, Alia,” kata ibunya. “Aku akan menunggu Bu. Pasti ia akan datang,” ucapnya dengan penuh harap. Harapan, hanya itu yang ia punya saat ini dan mungkin juga esok.

Paginya kini ditemani udara dingin dan klakson kendaraan yang  lalu-lalang. Ia begitu menyukai udara pagi, tapi tak menyukai suara kendaraan. “Tak ada fajar hari ini,” kata Ibunya sembari mengusap rambut Alia. “Pasti ada Bu,” jawab Alia.

Ini bulan Juni, dibanding fajar, gerimislah yang lebih banyak membuka pagi. “Tidak ada fajar hari ini,” kata Alia kepada ibunya. Di luar sana gerimis. Alia tahu. Dulu, ia menyukainya. Jadi, tak mudah untuk melupakan. Rintiknya menemani rintihnya. Matanya berurai airmata. Ia tak akan pernah lupa hujan terakhir yang ia lihat. Ia tak membenci hujan, hanya saja ia tak lagi menyukainya.
“Jangan takut sama hujan. Hujan itu berkah.” Ia teringat perkataannya setahun yang lalu ketika ia membuat janji bersama sahabatnya.

***
“Alia, ada Fajar!”
Itulah kalimat yang diteriakan Ibu Alia setiap pagi. Fajar, pria berpenampilan necis  tersebut tak pernah alpa berkunjung ke rumah Alia. Di teras rumah Alia, ia begitu sabar menunggu kedatangan Perempuan yang membuat harinya ceria. Garis bibirnya tak pernah memendek, meskipun yang ia tunggu terlambat. “Kalau selalu bangun kesiangan, rejekimu nanti dipatok ayam,” katanya dengan nada sedikit bercanda.
“Kamu tuh yang bakalan dipatok ayam kalo setiap pagi duluan kamu yang datang daripada ayam berkokok,” balas Alia.
“Aku datang pagi, supaya rejekiku gak dipatok ayam,” ucap pria berlesung pipi tersebut.
***
Juni 2013
Hujan perlahan membasahi aspal. Jarak pandang mulai memendek. Kedua sahabat sedang menghabiskan kata, membunuh waktu. Fajar tak suka jika harus bepergian ketika hujan. Ia tak suka suasana ketika harus melihat orang terburu-buru di jalan karena hujan. "Hujan memintamu untuk beristirahat," itulah kalimat wajibnya kepada Alia. Ia tak pula menyukai suasana setelah hujan, ketika sahabatnya yang periang menjadi pendiam. Jadi tak heran jika tak ada Fajar ketika hujan turun. Separuh dari egonya mengizinkannya untuk  berteman dengan hujan hari ini.

“Coba jelaskan supaya aku mengerti kenapa harus keluar di saat hujan deras.”
“Ini sebagai ikhtiar kamu menghentikan kegalauan sahabatmu ini.”
“Aku setiap saat mencobanya, tapi kamu tak mengizinkannya.”
“Bagaimana bisa aku menghentikannya, kalau kamu berharap orang lain menghentikannya,” lanjutnya dengan nada yang cukup tenang.
“Kamu hanya tahu sejahu itu.”
“Kamu bisa memilih bahagia...”
“Tapi tidak dengan terpaksa,” timpal Alia sebelum Fajar menyelesaikan kalimatnya.

Semakin jauh, obrolan mereka semakin dalam. Terkadang, Alia hanya berpaling, menghapus titik-titik hujan di kaca mobil yang mereka kendarai.  Di sampingnya, Fajar menatap jauh ke depan.  Tanpa kata, hanya sesekali menghela nafas panjang.
***
Januari 2014
Ia berjalan menuju bukit. Udara segar menguar mengikuti setiap langkahnya. Disusurinya rerumputan hijau dengan langkah terpatah-patah. Di bawah pohon besar  ia berhenti. Kakinya menyusuri gundukan tanah. Matanya menyimpan seteguk kesedihan. Ia membawa dirinya pada kenangan beberapa tahun lalu.  

“Aku gak tahu apa bagusnya menunggu fajar di tahun baru,” celoteh Alia ketika Fajar mengajaknya untuk menyaksikan matahari terbit di bukit yang tak jauh dari rumahnya. “Pengharapan dan kenangan,” balas Fajar.  Itu kali ketiga Fajar mengajak Alia menyaksikan fajar di tahun baru. Alia menolaknya sebanyak ajakan Fajar. Ia tak paham mengapa orang harus menganggap spesial sesuatu yang setiap hari.
“Jar, kalau kamu ajak aku di dua Januari, aku akan mempertimbangkan untuk pergi.”
“Apa daya tariknya coba? hanya karena ‘baru’?”
“kamu tidak akan mengerti,” balas Fajar sembari menatap Alia.
“Setidakmengertinya kamu betapa enaknya makan bakso saat hujan,” timpal Alia dengan terbahak-bahak.

Alia selalu membuat karibnya sejak SMA tersebut kehabisan kata. Tak pernah Fajar mencoba memperpanjang obrolan serius ketika Alia mengeluarkan guyonannya. Ia tahu, sahabatnya tak ingin nama lain selain persahabatan.
***
Kini, Ia hanya bisa memelihara kenangan-kenangan yang pernah tak disimpannya. Mengakrabkan diri dengan kenangan, memungut ingatan akan hari-hari bersama Fajar. Ingatannya takkan pernah lupa saat terakhir kali Fajar menemaninya menyusuri jalan di bawah hujan. Fajar dan hujan, keduanya yang tak bisa ia lihat lagi setelah bulan Juni.
 “Tak ada fajar hari ini, Alia.”

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tommy J. Pisa; Masih Seperti yang Dulu

Teori Kewenangan

Dialog (di balik) Hujan